Pulang jalan dengan Arash, aku kembali lagi ke kampus untuk mengambil motorku di parkiran. Aku sempat bilang pada Arash kalau aku akan pergi ke kampus sendiri, sedari tadi suasananya berubah tak nyaman. Arash diam, tak banyak bicara setelah membahas perihal rasa. Itulah kenapa aku meminta untuk ke kampus sendiri saja, padahal kalau sendiri pun di daerah sini banyak ojek online.
Motor Arash menepi tepat di depan gerbang kampus, manik coklat itu terlihat sendu. Dengan sedikit merendahkan suaranya Arash berkata, "maaf ya, kak. Makasih udah mau nemenin Arash hari ini. Satu hari yang indah, karena bisa Arash habiskan bersama kakak." Aku usak surai hitam Arash, "Arash tunggu kakak di sini."
"Duluan aja, dek. Kakak pulang sendiri."
"Ini udah malam, kak. Biarin Arash bertanggungjawab mengantar kakak pulang sampai rumah." Aku menepuk pelan bahu Arash. Ternyata anak ini sudah semakin besar.
"Ya udah, tunggu ya!" suruhku, Arash mengangguk.
Setelah itu, Arash benar mengantarku tepat depan rumah.
Tanpa basa basi, tanpa memberi aku ruang untuk bicara, Arash pamit, "Arash duluan, kak. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Yang jadi masalah sekarang adalah mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi rentetan pertanyaan yang sudah pasti Mama lontarkan padaku karena aku pulang malam.
Cklekk
Aku tarik kenop pintu itu dengan hati-hati. Mengucapkan salam sepelan mungkin, takut Mama memarahiku karena pulang malam. Belum terlalu malam sebetulnya, baru pukul delapan, tapi tetap saja takut Mama marah karena aku pergi ke kampus dari pagi, Mama pasti curiga, kenapa aku baru pulang jam segini.
Mataku mendelik, menelisik sekitar. Tak aku temukan Mama, yang netraku tangkap hanya bocah kecil yang sangat aku kenal tengah tengkurap di atas sofa, tetap fokus dengan ponsel di tangannya. Aku berjalan mendekati anak itu, ia sama sekali tak menghiraukan kehadiranku di sini karena terlalu sibuk dengan benda persegi panjangnya.
Karena terlalu gemas, aku timpa badan yang lebih kecil itu dengan tubuhku. Ia berteriak, "aaawww... Engap woy."
"Dih gila sih, Mama baru beli sofa baru apa ya? Kok empuk banget gini," candaku.
"Bi, bangun ih!" suruh ya.
"Eh, kek ada yang ngomong, sofanya yang ngomong? Demi apa keren banget, emak gue beli sofa beginian dimana?" aku cubit-cubit badan anak ini, tak keras, hanya cubitan kecil, ya mungkin rasanya seperti digigit semut.
"Ah sakit ih, sakit bi," keluhnya. Tanpa aku duga ia layangkan bantal sofa tepat di wajahku.
"Astagfirullah, ponakan laknat lu, dek," tukas ku.
"Bibi lebih laknat, bangun dari badan aku, bi," balasnya padaku.
"Lagian kamu ngapain sih di rumah teteh malem-malem, dek?" Raya bangun dan duduk di sampingku.
"Mau nginep di rumah bibi," aku mendengus sebal.
"Berhenti panggil aku bibi, panggil teteh! Lupa mulu, apa sengaja?" peringatku.
"Sengaja. Lagian aku disuruhnya panggil bibi sama Mama."
Tiba-tiba Mama dan kakak sepupuku, Lia, keluar dari arah dapur. "Apa sih, rame banget?" tanya Mama.
"Enggak kok, ma," ujarku.
"Baru pulang jam segini, dari mana?" Nah kan, ngeles apaan ya biar gak kena ceramah.
"Em anu, ma. Main sama Laras," kataku bohong.
"Tapi kenapa tadi Laras ke sini nanyain kamu?" Duh, makin pucat dong kalau gini. Mau alasan apa coba? Lagian si Laras ngapain juga ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Kecil Ngomongin Cinta?
Teen FictionTAK KENAL MAKA TEMENAN! ADA BAIKNYA FOLLOW SEBELUM BACA HIHI BERTEMAN ITU INDAH KAWAN, BOLEH CHAT AKU JIKA MAU NGOBROL-NGOBROL ATAU KENALAN (siape elu, ngapa gua harus kenalan sama elu? Sok akrab bet dah ngajak ngobrol wkwk) Beri dukungan dengan vot...