Berbagai cara Sadam lakukan agar bisa bertemu atau sekedar bersapa denganku. Mulai dari mengantarkan motor pulang, mengganti helm yang rusak, padahal helm itu aku yang lempar. Hm, lumayan rezeki anak Sholehah, kapan lagi punya helm baru dapat dikasih orang, betul? Hingga menelpon dengan ponsel Arash. Ujungnya aku menegur Arash agar tidak sembarangan memberikan ponselnya pada Sadam.
Arash bilang, Sadam awalnya diam-diam mengambil handphone Arash, tapi karena keburu ketahuan akhirnya ia ambil lagi ponselnya. Sadam merayu Arash agar Arash mau meminjamkan ponselnya, hingga Arash tak bisa menolak karena Sadam menyogoknya dengan PS baru punya Sadam. Sadam berjanji akan mengijinkan Arash main PS itu sepuasnya tanpa larangan dari Sadam.
Ah, anak ini, kenapa mudah sekali disogok?
Arash sekarang ada di sampingku, membawa banyak makanan dan satu tangkai mawar segar, seperti baru memetiknya di kebun.
"Mawar dari kebunnya siapa yang Arash ambil?"
"Kok tahu? Arash gak nyolong di kebun kakak kok. Arash petik di kebunnya Ibu."
Aku jewer telinga anak itu pelan. Aku bahkan tidak menuduhnya memetik di rumahku. "Jangan diulangi lagi ya anak baik. Nanti ibu nyariin bunganya, bisa jadi ibu nyangkanya bunga mawar dia yang cantik ini digondol kambing."
"Kambing doyan mawar?"
"Doyan kayaknya. Btw, ini bawa banyak makanan tuh buat apa?"
"Nyogok! Biar kakak gak marah sama Arash."
"Hm, anak nakal. Jangan diulangi lagi ya. Kakak tuh lagi marah sama Abang kamu."
Aku terkejut, Arash memelukku manja. "Hm, sayang kakak. Maafin adik kakak yang terlalu sayang Abang ini ya, Kak." Aku balas pelukannya, mengelus lembut rambut Arash.
"Dih, nyebelin. Sejak kapan kamu sayang Abang?"
"Sejak kapan ya, gak tahu deh. Tapi, sayang kok beneran."
"Kamu tuh. Lagian ini seneng amat nyogok pake makanan."
"Kan hobinya jajan," jawabnya. Ah, anak ini. Tahu sekali kalau aku suka jajan.
"Heh, heh, bukan mahram ngapain pelukan?" Aku melepas pelukan Arash. Melihat orang yang berkata barusan. Ternyata Kak Lia dan anaknya, Raya. Hm, perasaan mendadak tak enak.
"Suka-suka gue lah, Teh. Ini adek gue, Mama baru adopsi dia kemaren. Ganteng kan adek gue?"
"Iya kek orang Arab. Kok kamu mau sih punya kakak kayak Haura, yang hobinya kentut di dalam air." Oh, shit. Beraninya dia ngatain aku.
"Nyebelin! Mau apa lo ke sini? Jangan bilang mau nitipin anak lo di rumah gue lagi."
"Ah, iya. Raya mana?"
Aku perhatikan anak itu tengah menatap Arash. Astaga, jangan bilang Raya terpesona dengan Arash.
"Lah, anak gue kenapa?" bingung Kak Lia.
"Ma, ganteng! Raya mau punya pacar kayak kamu, kamu mau jadi pacarnya Raya?" ungkap Raya.
Arash memegang tanganku kuat, entah takut atau ngeri sendiri karena ada perempuan yang kesekian kali menyatakan perasaan sukanya dan mengajaknya pacaran.
"Bocah, sekolah dulu yang bener. Teh, anak lo bikin adek gue takut."
"Kak, Arash pamit pulang ya. Dah kakak, sayang kakak banyak-banyak. Assalamualaikum." Arash juga pamit pada kak Lia. "Permisi Tante. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Kak Lia menjewer kuping Raya. Ah, anak ini. Beraninya dia bilang mau jadi pacarnya Arash.
"Anak siapa sih ini? Bikin malu aja, itu anak sampai kabur gara-gara kamu bilang mau jadi pacarnya. Harga diri kamu dimana, Raya!" omel Kak Lia.
"Duh, iya ampun, Ma. Lepasin ih sakit," keluh Raya.
"Jangan gitu lagi! Masih kecil, sekolah yang bener," ucap Kak Lia.
"Habisnya ganteng banget."
"Aww." Kali ini aku yang jewer kupingnya Raya.
Berani sekali dia berkata kalau dia mau jadi pacarnya Arash di depan Mamanya, juga di depanku. Urat malunya kemana? Apakah anak jaman sekarang harga dirinya digadaikan? Hm, jangan begitu. Sungguh aku yang merasa sangat malu.
Aku cek ponsel yang sedari tadi bergetar. Nama Sadam terpampang di sana. Tak aku jawab, justru dengan sengaja aku mematikan ponselku.
Siangnya ada kurir yang mengantarkan paket. Padahal seingatku, tak ada barang yang aku pesan di aplikasi belanja online. Tapi ini paket dari mana?
Aku buka paket itu, isinya adalah tulisan permintaan maaf dari Sadam. Juga flashdisk, disalah satu kertas itu, Sadam memintaku menonton video yang ada dalam flashdisk ini.
Jujur, aku terpesona karena isi video itu adalah kumpulan video serta foto-foto kita selama bersahabat dan sering main bersama dan foto terakhir ketika kita di puncak yang Sadam edit.
Mengesankan, tapi pengakuannya kemarin saja masih belum termaafkan. Aku kecewa, marah, tapi Bang Juki bilang aku tak boleh benci. Padahal sungguh hati ini ingin sekali membenci dia.
'Gak apa-apa lo gak angkat telpon gue
Gak apa-apa lo menghindar dari gue
Tapi tolong simpan flashdisk itu baik-baik, banyak kenangan antara kita. Hargai, karena gue ngeditnya capek, ceban lah lumayan buat ngopi.'Aish, kalimat terakhirnya sungguh menyebalkan. Kenapa dia tak meminta bayaran yang lebih besar, lima juta misalkan? Lumayan untuk bayar UKT wkwk.
Andai kamu tidak pernah menanam luka, mungkin takkan seperih ini.
***
"Ra, lo mau sampai kapan diemin si Sadam? Kasihan kali tuh anak," ucap Laras. Aku dan Laras sedang di Mall, jalan-jalan sebentar menghilangkan stress, sebelum masa tugas akhir datang.
"Sampai dia mikir."
"Udah hampir seminggu, Ra. Coba dengerin alasan dia dulu lah."
"Hm, nanti gue pertimbangin."
Saat mataku sibuk ke sana ke sini melihat produk-produk yang dijual, Laras sibuk menepuk-nepuk pundak ku.
"Apa sih?"
"Itu Nila bukan sih?" tunjuk Laras pada seorang perempuan yang tengah bergandeng tangan dengan seorang pria di depan bioskop.
"Kayak Nila ya. Tapi kok sama cowok lain, gandengan tangan lagi."
"Masa si Nila selingkuh sih, Ra? Atau mungkin Sadam putus sama Nila. Bisa jadi juga Sadam jujur ke Nila kalau sebenarnya dia itu sukanya sama lo."
"Gue gak tahu, Ras. Semoga aja gak ada sangkut pautnya sama gue. Gue males nyari ribut sama temen sendiri."
Aku dan Laras ke Mall untuk karaoke, gak lama, hanya satu jam. Ditambah kita hanya berdua, dan uang patungannya cukup besar, jadi jangan lama-lama.
Kacau, sungguh karaoke dengan Laras bukan hal yang baik. Dia asyik dengan dunianya sendiri, tanpa memperdulikan suaranya yang kacau kemana-mana. Partner karaoke yang terbaik bagiku hanya Sadam. Tapi untuk kali ini aku sungguh tidak bisa bertegur sapa dulu. Ada kecewa yang cukup besar.
Setelah selesai Laras mengajakku mampir dulu ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhannya. Sebelum ke sana aku meminta Laras menemaniku dulu ke toilet, tapi anak itu menolak, alhasil aku ke toilet sendiri dan Laras lebih dulu ke supermarket. Selesai dari toilet, beberapa meter di depanku, aku melihat Nila dengan pria tadi, masih bergandeng mesra.
Nila terkejut melihatku ada di depannya. Dengan cepat ia turunkan tangannya yang sedang menggandeng pria di sampingnya itu.
"Haura," ucapnya gugup.
"Hai, La. Lama gak ketemu. Duluan ya!"
Aku hanya membalasnya dengan senyum. Tak ingin bertanya juga siapa pria itu, tak ingin ikut campur lebih dalam. Karena itu bukan urusanku.
![](https://img.wattpad.com/cover/241304284-288-k569143.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Kecil Ngomongin Cinta?
Подростковая литератураTAK KENAL MAKA TEMENAN! ADA BAIKNYA FOLLOW SEBELUM BACA HIHI BERTEMAN ITU INDAH KAWAN, BOLEH CHAT AKU JIKA MAU NGOBROL-NGOBROL ATAU KENALAN (siape elu, ngapa gua harus kenalan sama elu? Sok akrab bet dah ngajak ngobrol wkwk) Beri dukungan dengan vot...