Karena kejadian kemarin, aku sengaja mendiami Sadam. Dari pagi Sadam menghubungiku, namun tak ada satupun yang aku perdulikan. Telponnya tidak diangkat, pesannya juga tidak dibalas.
Karena kuliah libur, seharian kegiatanku hanya dikamar, rebahan, guling sana guling sini.
Manusia gabut!
Buka tutup sosial media, scroll beranda, intip story orang, sampai stalking sosial media mantan, eh, iya bener.
Di rumah hanya aku sendiri, Ayah kerja, Mama sedang pergi kerumah Bapak (sebutanku untuk kakek), aku lihat di dapur tak ada apa- apa, tidak ada yang bisa dimakan, sementara cacing di perutku sudah sangat histeris. Sepertinya Mama lupa memasak dulu sebelum pergi atau mungkin sengaja karena pikirnya tak akan lama. Aku buka kulkas, berharap ada cemilan yang bisa aku makan, namun hanya ada air putih, susu dan sayur mentah.
Aku menghela napasku, tidak mungkin aku masak.
Kenapa? Gak bisa masak?
Mohon maaf, anda jangan meragukan saya. Saya ini pandai masak, masak mie instan pake telur setengah matang, pakai sayur, ditambah irisan cabe rawit. Kan, ngiler loh.
Tok.. tok.. tok
Aku mendengar suara ketukan pintu, sepertinya ada tamu. Aku melangkah ke pintu depan dan perlahan aku membuka pintu, tanpa aku persilakan masuk, dengan tidak tahu dirinya tamu itu masuk begitu saja. Aku perhatikan gerak geriknya.
Brukkk
Pintu itu aku banting keras- keras. Entahlah, suasana hati sedang tidak baik hari ini. Aku dekati tamu tidak tahu diri itu, menatapnya tajam.
"Gue tunggu 10 menit buat lo ganti baju, rapi- rapi, dan jangan lupa pakai parfum, gue tahu lo belum mandi dari pagi. Gue kasih izin lo gak mandi, karena gue gak mau nunggu lo lama. Jadi, cepetan ya!" kata tamu tak tahu diri itu, siapa dia seenaknya nyuruh- nyuruh.
"Gue gak nyuruh lo diem ya, cepet ganti baju, kita harus selesaikan tugas hari ini, besok- besok mood gue pasti jelek, dan gue juga harus ngerjain tugas- tugas yang lainnya," aku mendengus sebal. Kebiasaannya selalu begitu. Semua keputusan selalu ia ambil sepihak.
Segera aku pergi ke kamar, mengganti pakaian dan memilih buku yang perlu aku bawa. Setelah siap semuanya, aku turun untuk menemui bapaknya musang.
Aku perhatikan Sadam, ia tengah sibuk dengan ponselnya. Aku lempar tas yang aku bawa pada Sadam. Sadam terkejut, ponselnya hampir saja jatuh.
"Santai dong! Emosian amat." Aku tak menggubrisnya. Aku melangkah begitu saja meninggalkan Sadam keluar.
"Makanya, chat sama telpon gue tuh di tanggapi, lo marah sama gue?" aku tak menjawab, aku alihkan pandanganku pada objek lain. Harusnya dia tahu, tidak perlu ditanyakan.
Tiba- tiba tangan besar itu memegang tanganku, "Maaf deh, gue ganti duitnya. Bener. Tapi jangan marah lagi. Gue kan bercanda." Aku melepaskan genggaman tangan besar itu.
"Ayo berangkat!"
"Ya ini tas nya. Masa gue yang bawa."
"Tinggal digendong apa susahnya sih, Dam?" kataku ketus. Sadam nurut, ia menggendong tas ku meski dengan terpaksa.
"Lo nebeng gue?"
"Iya."
"Motor lo nganggur, bawa motor sendiri ah."
"Tolong kupingnya dipasang baik- baik ya. Muhammad Sadam Husdi, lo yang jemput gue ke rumah, jadi lo juga yang harus nganter gue pulang. Dan gue gak mau bawa motor sendiri. Ngerti!" Aku bisa melihat Sadam menarik napasnya dalam- dalam. Beginilah aku, bisa menjadi sosok paling menyebalkan ketika marah.
"Iya ok, yaudah naik, ribet banget sih."
~~~
Sampai di rumah Sadam, diruang tamu sudah disuguhkan Arash yang entah kenapa sangat tampan. Ah, ngomong apa sih?
"Kak." Arash menatapku dengan senyumnya yang, ah, manis sekali. Visual Arash memang tidak bisa di bandingkan dengan kakaknya, ya, Sadam. Manusia gesrek yang bisanya bikin emosi.
"Arash, lagi apa?" tanyaku basa- basi pada Arash.
"PS Kak, mau main?"
"Ah..." belum sempat menjawab, Sadam memotong ucapanku begitu saja.
"Nggak, Haura gue ajak kesini buat ngerjain tugas kelompok, bukan mau main PS sama lo ya."
"Iya, Bang. Tapi, nanti kalau udah kelar main bareng Arash ya, kak?" aku hanya mengangguk dan senyum setulus mungkin.
Sadam menarik tanganku erat sekali. Seperti ada amarah yang ia simpan. "Sakit, gak usah tarik- tarik bisa?" Sadam melepaskan pegangannya. Rasanya sakit sekali, aku mengusap- usap tanganku yang memerah.
Aku duduk di sofa yang tak jauh dari Arash main PS. Sadam mendekatiku. "Maaf."
"Hm," jawabku singkat.
Setelah selesai mengerjakan tugas, aku menghampiri Arash yang sedang main PS.
"Mau main kak?" tanya Arash.
"Nonton Arash aja." Arash tersenyum menanggapi, "sekolah lancar?"
"Lancar, kak. Kakak kuliahnya gimana? Lancar juga?"
"Lancar kok. Abang kamu aja yang otaknya gak lancar." Arash terkekeh sendiri. Padahal hanya bilang otak abangnya yang gak lancar. Secara tidak langsung Arash pun setuju dengan pernyataanku.
"Kalau perasaan kakak ke Arash lancar belum?" aku diam, bingung harus menjawab apa, "gak usah dipikirin kak, Arash becanda."
"Ah, iya."
Arash menyimpan stik PS nya. Melihatku yang tengah sibuk dengan ponselku.
"Kak, ponsel kakak berharga ya?" Aku mendongak menatap Arash.
"Iya lah, berharga banget, kakak sayang banget sama hp ini."
"Kalau aja Arash bisa jadi hp, Arash mau dimiliki sama kak Haura, biar disayang juga." Susah payah aku meneguk saliva ku, "banyak kok cinta yang beda usia, mau itu tuaan laki- lakinya atau pun tuaan perempuannya. Kalau jodoh kan gak ada yang tahu."
"Iya, Arash," ujar ku.
"Kak, apa kakak ingat, kapan terakhir kali kakak mencintai diri kakak sendiri?"
"Setiap hari."
"Jadi, kapan kakak bisa mencintai Arash setiap hari." Aku tersenyum, ah, anak ini sudah semakin besar.
"Kak Haura sayang Arash setiap hari, sebagai adik."
"Lebih dari itu?"
"Belum, maaf ya." Arash tersenyum, aku tahu Arash paham dengan ucapanku.
Tiba- tiba Sadam duduk di tengah- tengah antara aku dan Arash, Sadam duduk menghadapku, "Ra, lo tahu satu tahun itu berapa hari?" Aku mengernyit, apa-apaan sih si Sadam. Tinggal ngitung, ngapain nanya.
Dengan terpaksa akhirnya aku jawab. "365 hari."
"Gue bisa mencintai lo lebih dari 365 hari." Speechless, gak tahu, apakah yang tadi itu sebuah gombalan, bercanda atau serius. Aku meneguk salivaku sebisa mungkin. Aku dibuat membeku, tak ada raut gurauan dari Sadam. Ah, keluarga ini aneh sekali. Dua laki- laki disini membuat jantungku berdetak tak stabil.
Sadam mengalihkan pandangannya, tapi sikapnya biasa saja, seolah hal tadi tak pernah terjadi. Dia kembali pada dirinya yang bersikap bodo amat. Ia ambil stik PS itu memberikan satu pada Arash, Arash pun masih diam, aku tahu Arash mendengar apa yang di ucapkan kakaknya tadi, mungkin ia juga berpikiran sama sepertiku.
"Ayo main, ngapain bengong," ajak Sadam pada Arash. Dan aku sendiri masih tak habis pikir. Aku memilih diam dan memperhatikan dua pria yang sedang main PS di sampingku.
Jadi menurut kalian omongan si Sadam barusan gombalan, bercanda atau serius atau apa nih. Mukanya si Sadam ngeselin banget sih. Susah ditebak wkwk
Bagaimana? Sejauh ini apa yang kalian rasakan, mules- mules, mencret- mencret atau sakit perut aja. Atau mungkin mual. Haha
Tungguin terus ya kelanjutannya. Sayang kalian 💛
![](https://img.wattpad.com/cover/241304284-288-k569143.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Kecil Ngomongin Cinta?
Novela JuvenilTAK KENAL MAKA TEMENAN! ADA BAIKNYA FOLLOW SEBELUM BACA HIHI BERTEMAN ITU INDAH KAWAN, BOLEH CHAT AKU JIKA MAU NGOBROL-NGOBROL ATAU KENALAN (siape elu, ngapa gua harus kenalan sama elu? Sok akrab bet dah ngajak ngobrol wkwk) Beri dukungan dengan vot...