5. Bapaknya musang!

200 38 6
                                    

Biasakan vote dan komen setelah baca ya. Aku seneng tahu baca komen- komen kalian hihi. Sayang kalian 💛

🍃🍃

Dua mata kuliah sudah dilewati hari ini, selepas kuliah, biasanya aku tidak langsung pulang, sekedar menghilangkan stress, entah itu main ke kostan Laras, ke Mall, Food court samping kampus atau main ke rumah Sadam.

Sekarang aku dan Laras memilih duduk di depan perpustakaan yang sepi.

Kenapa gak masuk ke perpus aja? Masa cuma nongkrong doang di depan perpus?

Ah, mohon maaf, aku tidak serajin itu. Aku bertamu ke perpustakaan hanya jika aku butuh buku saja. Aku bukan mahasiswi iseng yang suka main ke perpus wkwk.

Jangan ditiru ya teman- teman. Itu tidak baik, aku yakin kalian adalah orang- orang yang rajin ke perpustakaan buat baca buku. Bukan manusia kayak aku yang cuma nongkrong- nongkrong unfaedah sambil berghibah ria.

Duduk di depan perpus bukan hanya nyaman karena sepi. Tapi juga karena Wifi nya kencang. Aku dan Laras adalah pemburu wifi gratisan di kampus. Iyalah, bayar mahal- mahal buat apa kalau tidak dimanfaatkan. Betul? Bukankah fasilitas kampus juga buat mahasiswa?

"Ra.." rengek Sadam yang baru datang. Merengek-rengek padaku, seakan aku ibunya. Aku tak memperdulikan kehadiran Sadam, begitupun Laras yang hanya diam. Kita sibuk dengan dunia maya kita masing- masing.

Sadam berdecak, mungkin dia kesal tak ada yang peduli. Tiba- tiba saja Sadam memposisikan kepalanya di pangkuanku. Posisi pas karena kakiku sedang dalam keadaan selonjoran.

"Ih, apaan sih Dam. Bangun ih." Karena risih, aku jewer telinga Sadam.

"Ash, sakit Ra. Numpang tiduran doang emang salah?" ujar Sadam dengan wajah tengilnya.

"Jangan gini, nanti ada dosen yang lihat. Gak enak juga sama mahasiswa lain." Bukannya bangun, Sadam malah menatapku.

"Argh.. Sakit Dam." Aku meringis, sesekali aku usap- usap hidung ku yang ditarik Sadam. Ia bangun dan mengambil posisi duduk di samping kiriku.

Baru juga merasa bebas karena Sadam merubah posisi, sekarang ia malah bersandar di bahuku. "Ah, geli. Gerah tahu."

"Pelit, nyender doang," tukasnya.

"Lo gabut ya?" Sadam tak menjawab, ia malah memainkan pashmina yang aku kenakan, ia tutupi wajahnya dengan pashmina ku.

Aku tiba- tiba berdiri, lebih tepatnya sengaja berdiri.

Tuk..

"Ah, kepala gue." Aku bisa pastikan kepala Sadam benjol. Aku tertawa puas sekali, itu resiko kalau jadi manusia bandel banget. Sadam menarik pashminaku, bagaimana tidak disebut gila? Leherku tercekik pashmina tapi Sadam malah makin sengaja.

"Dam, uhuk.."

"Dam, lo mau bikin temen gue mati!" omel Laras yang sedari tadi diam. Sadam melepaskan pashminaku, aku kembali ke posisi duduk ku di samping Sadam.

"Stress lo. Sesek beg*." kataku sarkas.

"Kepala gue juga sakit, benjol nih pasti." Tiba- tiba Sadam mengambil tanganku dan diletakkan di kepalanya. "Lo rasain, benjol kepala gue," sambungnya sambil memainkan tanganku mengelus- elus kepalanya.

"Iya deh, maaf. Btw, ini beneran benjol," ujarku sambil tertawa, aku bisa merasakan ada benjolan di kepala Sadam. Namun, lagi, Sadam menatapku seperti itu. Dan berakhir dengan tarikan di hidungku.

"Arghh, sakit. Kalau hidung gue makin mancung gimana?"

"Mancung kemana? Ke dalem?" Aku merengut, benci dengan manusia satu ini.

"Sakit ya?" tanya Sadam lembut, seraya mengelus leherku yang tercekik tadi. Ah, manisnya! Eh, modus doang pasti ini mah. Bisa-bisanya aku tersipu.

"Lo berdua kenapa gak pacaran aja sih?" celetuk Laras yang diam- diam memperhatikan kelakuan Sadam.

"SAMA DIA? OGAH?" ucapku dan Sadam berbarengan.

"Cie kompak," ledek Laras.

Nyatanya, kelakuan kita berdua yang seperti ini membuat berbagai tanya. Apa iya aku dan Sadam hanya sebatas teman?

Harus aku akui juga, Sadam adalah salah satu teman yang isi kepalanya sama denganku. Suka tiba-tiba gak jelas dan punya selera humor yang sama.

"Gue laper, food court yuk!" ajak Sadam. Aku tampak menimang, rasanya ajakan Sadam tidak ada salahnya.

"Yuk, mie kuali enak kali ya?"

"Wih, enak banget. Ayo lah. Skuy guys," sahut Laras girang.

Sampai di food court kita langsung memesan mie kuali yang memang kita rencanakan. Karena pengunjung banyak sore ini, maka harus mau menunggu pesanan agak lama.

Sambil menunggu, aku putuskan untuk bertanya pada Sadam. Hal yang sedari malam ingin aku tanyakan.

"Dam, gue mau nanya boleh?"

"Satu pertanyaan bayar satu porsi mie kuali."

"Ya udah gak jadi," kataku pasrah. Sadam menatapku, lagi. Tapi, ekspresi yang ditunjukan Sadam tidak bisa aku tebak sama sekali. Sadam melemparkan satu batang coklat padaku.

"Dari Arash." Aku perhatikan Sadam seperti tidak ikhlas, terlihat bagaimana cara ia melempar coklat itu.

"Bilang makasih ke Arash."

"Gak mau, gue bukan media komunikasi lo berdua. Pada punya handphone, kan? Ngomong sendiri aja."

"Lo kenapa sih? Kayak bete gitu?"

"Gue gak suka disuruh- suruh jadi tukang pos." Sadam mengeluarkan dua batang coklat lagi dan satu tangkai mawar layu. Katanya dari Arash kemarin, tapi ia belum sempat kasih ke aku.

Sadam berdiri, mengeluarkan uang lima puluh ribuan, "Gue pulang, ini buat bayar makanannya." Ada rasa tak enak hati, tapi ya bagaimana?

"Ras, si Sadam kenapa sih?"

"Cemburu kali," kata Laras ngaco.

Mie kuali sudah di depan mata, tiga porsi mie mengepul depan mata, terlihat kuahnya yang pedas dengan aroma cabai yang kuat. Tak disangka Sadam kembali, langsung duduk dan memakan pesanannya.

"Jangan komen, mubazir gak ada yang makan." Dengan lahap Sadam memakan mie nya, sedangkan aku dan Laras hanya melongo, menatapnya tak percaya, "duitnya balikin sini, gue aja yang bayar."

Setelah selesai makan, Sadam berdiri menghampiri kedai mie kuali, setelah itu pamit pulang padaku dan Laras. Aku dan Laras sendiri tak langsung pulang, karena kalau dipaksa jalan setelah makan perut pasti kram.

10 menit berlalu, aku dan Laras memutuskan untuk pulang.

"Kak..." baru berjalan beberapa langkah, si teteh yang punya kedai mie memanggil.

"Iya teh?" sahut Laras.

"Maaf, belum dibayar," kata si Teteh itu dengan pelan. Aku dan Laras saling tatap.

"Belum bayar? Bukannya temen kita yang cowok tadi udah bayarin, teh?" aku merasakan bau- bau kantong gosong.

"Oh, ngga kak, si Aa yang tadi malah bilang dibayarin sama kakak, sekalian sama punya dia." Seketika ingin sekali aku berkata kasar. Dengan terpaksa aku membayar pesananku dan Sadam, sedangkan punya Laras ia bayar sendiri. Dan benar saja, kantong ku yang gosong karena harus membayar makanan Sadam.

"SADAM! DASAR BAPAKNYA MUSANG," umpatku.

Tanganku mengepal, emosi sudah memuncak, "Ras, bunuh manusia kayak si Sadam dosa gak sih?"

"Dosa sih, tapi kalau lo mau ngasih pelajaran gue ikut. Enak aja bikin kita malu," kata Laras semangat.

"Emang dasar GESREK!"

Wkwk enaknya manusia kayak si Sadam diapain ya. Ngeselin banget emang. 😂

Anak Kecil Ngomongin Cinta?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang