Suasana kelas sangat gaduh, teman-teman di kelas ada yang sedang main games, baca novel, sarapan, ghibah, dan tidur. Ya, aku yang tidur. Tidak benar tidur, hanya menutup mata dan mengumpat kan wajah di balik lipatan tangan. Suhu badan tak seperti biasanya, panas dan kepala terasa sangat berat. Jika tidak mengingat ada mata kuliah penting, sudah pasti aku tidak akan hadir. Hari ini hanya ada satu mata kuliah, dosennya cukup killer, tapi bukan killer nya, tapi karena pentingnya MK ini.
"Masih pagi udah tidur aja, Ra? Begadang lo?" tanya Laras yang duduk di sampingku.
"Mumpung dosen belum Datang, Ras."
"Dek, gue minjem catatan lo dong." Kehadiran Kak Shita membuatku mendongak.
"Di tas, kak. Ambil sendiri aja."
"Kenapa sih, pucet banget?" Kak Shita menempelkan punggung tangannya di dahiku. "Pusing gak?" tanya kak Shita.
"Iya, kak."
"Mau gue antar ke ruang kesehatan?" tawar kak Shita.
Aku menggeleng pelan, "gak usah, kak."
"Gue antar pulang mau, dek? kamu panas banget loh, jangan dipaksa. Absen sekali aja gak masalah kok."
"Gak apa-apa, kak. Satu MK doang kok," tolakku.
"Bandel ih. Ya udah, nanti kalau emang gak kuat, bilang gue ya," Aku mengangguk. Kak Shita memang sudah seperti kakak sendiri, sikapnya yang kadang terlihat bodo amat, nyatanya dia begitu hangat.
Satu mata kuliah sudah terlewati, waktu menunjukkan pukul 10 pagi. Namun, karena ada hal yang hendak di sampaikan oleh ketua kelas terkait tugas akhir, mau tidak mau harus menunggu.
Suhu di kelas terasa sangat dingin, entahlah berapa suhu di ruangan ini. "Ra, dingin?" tanya Laras. Dia pasti memperhatikan gerak-gerik ku.
"Iya, boleh di matiin gak sih AC nya," pintaku pada Laras.
Aku pejamkan mata, tidur dengan kondisi kepala yang disanggah tas di atas meja. Ruangan rasanya masih dingin, padahal AC sudah dimatikan, atau mungkin memang tidak dimatikan, hanya di kurangi saja suhunya.
Rudi sedari tadi sudah menyampaikan beberapa hal terkait pembahasan hari ini. Aku mendengarkannya, tapi tidak begitu jelas, fokusku benar-benar hilang hari ini. Ujungnya pasti akan merepotkan Laras atau Kak Shita. Sampai semuanya selesai dan aku tak mengerti apa-apa.
"Lo bawa motor?" tanya Laras, aku mengangguk, "duh, khawatir gue. Gue antar lo pulang deh."
"Gak usah, Ras. Nanti motor lo gimana? yang ada lo harus bolak-balik. Janganlah, ngerepotin."
"Tapi lo—"
"Gue bisa sendiri."
Masih panas dan terasa linu, tapi aku tidak boleh membuat teman-teman ku khawatir. "Dek, gue anterin ya?" tawar kak Shita.
"Aku sendiri kak, nanti motor aku gimana kalau nebeng kakak. Lagipun kita gak searah, ngerepotin," senyumku datar.
"Taro sini aja, gak bakal hilang kok, ya. Gue gak terima penolakan," paksa kak Shita. Aku turuti saja, dari pada Kak Shita marah.
"Eh bentar." Kak Shita mengangkat telpon terlebih dulu.
"Gue percaya sama kak Shita, cepet sembuh ya. Gue duluan, mau pulang kampung dua hari soalnya. Oke," pamit Laras. Belagu sekali memang, padahal hanya pulang ke kampung. Laras ngekost di dekat kampus, karena rumahnya yang cukup jauh dengan kampus, tidak memungkinkan ia pulang bolak-balik.
Kak Shita kembali, aku perhatikan ia tampak gusar. "Kenapa, kak?"
"Duh, ini dek. Gue baru dapet kabar, adek gue kecelakaan, keserempet mobil. Gak parah sih, lecet-lecet dikit, gue mau jemput dia di klinik, tapi gue antar lo dulu deh, ya."
"Yaudah lah, kak. Gue pulang sendiri aja gak apa-apa. Kasian adek kakak nunggu lama entar."
"Eh jangan gitu, gak apa-apa beneran, gue antar lo dulu, ya."
"Sendiri aja gak apa-apa, kak," tolakku lagi.
"Enggak, jangan. Eh, Husdi!" teriak kak Shita.
Sadam yang tengah sibuk ngobrol dengan Arun pun berbalik dan menghampiri kak Shita.
"Apa sih? Husdi nama bapak gue, kak," balas Sadam tak terima. Iya, Sadam yang di panggil Husdi. Kebiasaan Kak Shita memang memanggil Sadam dengan sebutan Husdi.
"Gue mau minta tolong. Lo antar Haura balik ya," bingung Sadam.
"Haura 'kan bawa motor?"
"Dia lagi sakit, gue takut kenapa-kenapa kalau bawa motor sendiri. Tadinya gue yang mau antar, tapi gue baru dapat kabar kalau adek gue kecelakaan, ya. Mau, kan?"
"Karaoke gratis ya, kak!" aku pukul tangan Sadam.
"Apaan sih. Jangan di dengerin, kak. Gue pulang sendiri aja."
"Eh tunggu, Ra. Gue anterin lo." Sadam melemparkan kunci motornya pada Arun. "bawa motor gue, Run. Entar gue ambil ke kosan lo."
"Lo serius?" tanyaku memastikan.
"Serius, lo mau gue ajak ke jenjang yang lebih serius juga ayok," canda Sadam. Manusia ini terlalu banyak bercanda.
"Okey, tenang berarti gue. Lo bawa motornya jangan ngebut, lo bukan Rossi," kata kak Shita, sambil memukul Sadam dan berlalu meninggalkan kita.
Aku dan Sadam sudah sampai parkiran. Keringat dingin mengucur di pelipis. Baru jalan sebentar saja sudah kelelahan. Berdiri saja sudah tak sanggup sampai harus pegangan ke motor orang yang sedang terparkir.
Jantungku berdegup tak karuan, bukan karena lelah berjalan sampai parkiran, tapi karena tangan besar milik Sadam menghapus keringat yang mengalir di pelipis dan dahi ku.
"Kok gue kayak denger bunyi dug dug dug gitu ya, lo deg-degan gue hapus keringat lo?" ejek Sadam.
Aku tepis tangan besar nya yang masih menempel di pelipis kiriku. "Ini kuncinya."
Sadam membuka jaketnya dan ia sampirkan di punggungku. "Pake!" suruh Sadam.
Aku menatap punggung tegap ini, meski baru tiga tahun lebih mengenal Sadam, tapi aku tahu dia sahabat yang baik. "Pegangan ya, Ra," pinta Sadam.
"Hah?"
"Pegangan, bukan hah. Gini nih." Sadam menarik tanganku, melingkarkannya di perut.
"Modus!" tukasku. Aku lepaskan tangan yang melingkar di perut Sadam, beralih memegang ujung baju Sadam.
"Terserah lo deh," ujar Sadam.
Jarak dari kampus ke rumah lumayan jauh, kepalakku terasa semakin berat, suhu tubuh juga tak kunjung turun. Aku bersandar di punggung Sadam, tanganku juga sudah lepas dari ujung baju Sadam, pusing sekali rasanya. Sadam membawa motor dengan satu tangan, dan tangan sebelahnya ia gunakan untuk menahan tubuhku agar tidak jatuh. Tak aku larang, sedang tidak ingin melarang juga, Sadam peka dengan situasi, dan aku menghargainya. Betul-betul sahabat yang baik. Sepertinya! Sedang tidak ingin suudzon disituasi seperti sekarang ini.
"Makasih, Dam," ucapku parau.
"Kayak bocah sih lo, doyannya hujan-hujanan. Baru kemarin gue bilang jangan hujan-hujanan nanti sakit, eh beneran sakit."
"Makanya mulut lo jangan gitu, ngomong tuh yang baik-baik, ucapan itu doa, Dam."
"Iya deh, ngerti. Makanya jangan suka hujan, hujan tak selalu buat lo senang, tapi hujan juga bisa buat lo sakit, gak jauh beda dengan cinta, yang katanya bisa membuat bahagia, tapi nyatanya bisa membuat kita terluka, sakit jika kita tak mampu menguasai rasa."
"Jadi gue harus gimana?"
"Lo suka gue aja, dan gue gak bakal bikin lo sakit," ucap Sadam.
"Calon pacar lo gimana? lo nyerah dan berpaling ke gue maksudnya. Jangan lari, Bang."
"Iya, gue mau lari-lari di pikiran dan hati lo." Aku mencubit perut Sadam dan berakhir dengan pelukan, tangan kananku melingkar di perut Sadam, manusia ini bisa-bisanya ngerem mendadak.
"Benci banget gue sama lo, nyebelin!"
Kita larut dalam canda siang ini, disaat kepala sedang pusing, suhu tubuh yang tak kunjung turun, Sadam hadir memberikan warna dengan candaannya yang receh parah dan sempat mebuatku salah paham dengan sikapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Kecil Ngomongin Cinta?
Novela JuvenilTAK KENAL MAKA TEMENAN! ADA BAIKNYA FOLLOW SEBELUM BACA HIHI BERTEMAN ITU INDAH KAWAN, BOLEH CHAT AKU JIKA MAU NGOBROL-NGOBROL ATAU KENALAN (siape elu, ngapa gua harus kenalan sama elu? Sok akrab bet dah ngajak ngobrol wkwk) Beri dukungan dengan vot...