45. Tuduhan Mata

60 10 11
                                    

Hari pertama kerja di Surabaya, meski badan tidak terlalu sehat, tapi cukup excited bertemu kawan baru juga suasana baru.

Jarak mess dan kantor tidak terlalu jauh, makanya aku memilih untuk jalan kaki saja. Bukan hanya semata-mata melakukan penghematan, tapi memang dasarnya pelit saja.

Letak kantor ada di seberang jalan, aku diharuskan untuk menyebrang  dengan kondisi jalan yang cukup ramai. Ah, mana bisa seperti ini, celingukan kanan kiri tidak ada jembatan penyebrangan. Meski ada zebra cross sekalipun aku tetaplah bukan orang yang mahir dalam menyebrang.

Seseorang tiba-tiba menggenggam tanganku. "Ayo! Mau sampai kapan gak bisa nyebrang?"

Dia menarik tanganku menyebrang jalan, hingga selamat dan bisa sampai depan kantor. "Makasih," ucapku. Setelah itu aku langkahkan kaki menuju kantor.

Tangan besar itu menahanku. "Makasih doang? Kiss-nya mana?" Aku sunggingkan senyum, berusaha tetap sabar dan tenang.

Aku rogoh saku mengambil permen dan menempelkannya di bibir Sadam. "Udah, kan? Enak gak? Manis sih harusnya." Aku berbalik untuk masuk ke dalam kantor.

"Besok gue pulang ke Malang. Jangan kangen ya!" pekik Sadam.

"Pergi aja yang jauh," ujarku.

Ada tangan lagi yang menarik tanganku. Sudah pasti ini kerjaanya Sadam. "Apa sih? Mau pergi ya pergi aja," kesalku. Aku berbalik, dan ternyata bukan tangan Sadam.

"Maaf, ada urusan sama saya?" tanyaku pada orang itu. Dan dia adalah Tyas, perempuan yang bersama Sadam kemarin.

"Jauhi Sadam!" suruhnya.

Aku berdecih, tersenyum remeh mendengar ucapannya. "Siapa anda melarang saya menjauhi sahabat saya? Saya tidak perlu anda suruh, kalaupun saya mau, akan saya lakukan hari ini juga," tegasku.

"Gak usah sok baik, ya. Itu pasti cuma kedok kamu doang. Bilangnya sahabat tapi nyatanya kamu punya perasaan sama Sadam."

"Mbak—" aku tepuk pundaknya, dengan cepat ia tepis tanganku dengan kasar. "Ow, santai dong!"

"Kamu gak perlu sok akrab sama saya, jangan sentuh-sentuh saya dengan tangan kamu yang kotor itu." Aku coba berusaha untuk tetap tenang meladeni perempuan di hadapanku ini.

"Saya sudah cuci tangan, apakah dengan tambahan kaca mata masih rabun juga? Coba Mbak lihat tangan saya." Aku tunjukan telapak tanganku pada perempuan yang bernama Tyas ini.

"Kamu tuh ya," ucapnya kesal. Ia menarik pashmina yang aku kenakan.  Refleks akupun menjambak rambut sebahunya yang terurai.

Ia mendorongku sampai di bahu jalan. Sungguh, aku malu sejujurnya karena harus bertengkar di depan kantor yang mana sangat persis depan jalan raya yang ramai kendaraan berlalu lalang. Menjadi pusat perhatian beberapa pengendara yang lewat.

"Kamu itu siapanya Sadam sampai bisa melakukan hal segila ini?" ucapku kesal.

"Saya mencintai dia, saya adalah orang yang tidak suka jika ada orang lain yang berani mengambil punya saya."

"Itu obsesi bukan cinta. Sadam tidak akan mau dengan perempuan seperti kamu. Saya lebih mengenal Sadam dibanding kamu." Lagi, dia menarik pashmina ku. Aku pegang tangannya yang menarik pashmina. Ia mendorongku hampir dekat dengan jalna raya. Perdebatan ini sungguh bahaya, mengingat banyak kendaraan yang melintas.

Karena kesal, aku sedikit mengeluarkan tenaga untuk melepaskan tangannya yang menarik hijabku.

Ahh

Perempuan bernama Tyas itu hampir saja tertabrak sepeda motor, kalau saja pengendara itu tidak menghentikan motornya, aku tidak bisa membayangkan jika perempuan ini terluka.

Anak Kecil Ngomongin Cinta?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang