🌌(68) Seventh : Kookheon-Hyeop 'Prelude'

1.2K 221 190
                                    

Haii!! Kangen gaa?? Wkwkwkwk
Long time no see guyss!! Maafin aku yang menghilang cukup lama yaa.. kebetulan lg sibuk di bgt di real life ditambah mulai susah nyari feel dari para kapal hantu ini :") tapi gapapaaa.. i'll try besteu untuk pelan2 ngelanjutin cerita yg swuper ruwet ini ㅠㅠ

Yaudah langsung aja deh ya dibaca hehe!! Enjooyy~

P.s. Kalo ada penggunaan kata2 yg salah tolong dikoreksi yaa hehe ini hanya berdasarkan imajinasiku dan pengetahuanku yg gak seberapa soal musik😅

================================

Minhee menatap nanar benda kesayangannya yang saat ini sedang diangkut keluar oleh tiga orang berbadan besar. Dengan sang Nenek yang mengawasi dari balik pintu. Neneknya itu benar tidak main-main dengan ucapannya--bahwa ia akan membuang grand piano putih miliknya yang sudah menjadi teman sepinya selama ini.

Putra sekaligus cucu semata wayang keluarga Kim itu menghela nafas berat. Ia tidak berani melawan pada Neneknya, karena ia takut Ibunya yang akan kembali menjadi sasaran kemarahan wanita tua itu. Minhee tidak mau menambah daftar kemarahan Neneknya kepada sang Ibu.

"Mulai besok kamu harus belajar bisnis ya Minhee. Kamu kan nanti jadi penerus perusahaan keluarga. Nenek udah nyiapin semuanya, kamu tinggal persiapin diri kamu aja." Titahnya mutlak, wanita tua itu berjalan menuju posisi Minhee.

Minhee mengangguk terpaksa. "Iya, Nek."

"Kalo nurut gini kan Nenek juga seneng liatnya." Pipi kemerahan Minhee ditepuk pelan.

Seulas senyum tipis Minhee berikan. Ia teringat pesan Momanya yang selalu mengatakan agar tetap berbuat baik pada semua orang--sekalipun orang itu pernah berbuat jahat pada kita.

"Yaudah, kamu masuk kamar ya. Belajar."

"Iya Nenek. Minhee pamit ke kamar dulu ya.."

Nyonya Kim mengangguk. Minhee membungkuk sebelum melangkah menjauh dari Neneknya. Sekesal apapun ia dengan wanita tua itu, Minhee tetap menjunjung tinggi kesopanan pada orang lain, apalagi yang umurnya lebih tua.

Sesampainya di kamar, Minhee merebahkan tubuhnya di kasur dengan kedua lengan yang menumpu kepalanya. Pandangannya tertuju pada langit-langit kamar dengan lampu gantung mewah yang menjadi satu-satunya pengisi di atas sana.

Sebentar lagi Minhee akan tampil recital. Kalau begini caranya ia tidak bisa berlatih dengan maksimal jika tidak ada piano di rumahnya. Ia menghela nafas, lalu bangkit menuju area meja belajarnya dan duduk di kursi dengan tegap. Setidaknya ia tidak boleh lupa partitur lagu yang akan ia mainkan.

Maka Minhee menyalakan video latihannya yang sempat direkam beberapa hari lalu, dan jemarinya mulai menari dengan lincah di atas meja belajar. Seolah-olah ia bermain di atas tuts hitam putih favoritnya. Matanya terpejam menjiwai setiap alunan rasa dari dentingan piano yang bunyinya berasal dari video rekaman.

Saat video berakhir, Minhee mendesah kecewa. Bagaimana pun tetap tidak ada yang mengalahkan sensasi menekan tuts piano dan mendengar bunyinya secara langsung. Tapi Minhee tidak bisa berbuat banyak, yang penting ia tidak berhenti berusaha kan?

Sedang asik melamun tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Id caller sang Ayah muncul di layar. Minhee segera mengangkatnya.

"Sweetheart.."

"Iya Pa?"

"Sayang, Popa udah daftarin Minhee buat les piano. Kamu bisa ke tempat lesnya sekarang? Ada berkas yang harus dilengkapi. Tapi Popa minta maaf gak bisa anter Minhee ke sana--"

MIKROKOSMOS | PRODUCE X 101 and Others (Sequel From Catch Me If You Can)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang