Keadaan Azila sudah sedikit membaik membuatnya dapat pulang lebih awal. Dan kali ini, Azila meminta pada Gavin untuk pulang ke rumah Hans, entah kenapa tapi mungkin hanya untuk mengistirahatkan perasaannya yang sedang kacau."Kita ke makam, Bunda, ya …?" ajak Azila saat mobil mulai melaju di atas jalan raya meninggalkan area rumah sakit.
"Sekarang?" tanya Gavin sekilas menoleh ke arah Azila, karena ia juga harus membagi fokusnya dengan jalanan di hadapannya.
"Iya. Aku kangen, Bunda …," lirih Azila, ia menoleh pada jendela mobil dan memperhatikan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi.
"Sekalian juga aku pengen nginep di rumah, Ayah."
"Kenapa?"
"Cuma pengen nenangin diri aja," jawab Azila tanpa menoleh sedikit pun, ia masih asik memperhatikan sisi jalan saat mobil terus melaju.
Sementara Gavin diam, ia melirik ke arah Azila sejenak sebelum kembali mengarahkan pandangannya pada jalanan di hadapannya. Sebagai seorang suami, Gavin mengerti apa yang dipikirkan Azila saat ini. Dan mungkin memang benar, Azila harus menenangkan diri.
Sepanjang perjalanan, tidak ada percakapan yang terjadi. Azila sibuk dengan pikirannya dan Gavin yang sibuk menyetir. Hingga beberapa menit berlalu, Gavin memarkirkan mobilnya di depan sebuah pemakaman umum. Ia keluar lebih dulu kemudian membukakan pintu untuk Azila.
"Hati-hati!" peringat Gavin.
"Iya, makasih."
Langkah Azila mulai menyusuri pemakaman diikuti Gavin di belakangnya. Hingga langkah Azila berhenti tepat di depan sebuah gundukan tanah yang masih sama seperti terkahir kali ia temui.
"Assalamu'alaikum, Bunda …," ucap Azila lirih, ia mendudukkan bokongnya di samping kuburan dan mengelus batu nisan yang bertuliskan nama wanita yang dulu melahirkan dirinya.
"Bunda …." Mata Azila memanas, ia sebisa mungkin untuk tidak menangis. Namun, semua itu gagal saat merasakan Gavin merangkul pundaknya.
"Nggak papa, kalo mau nangis … nangis aja," ucap Gavin sedikit berbisik.
Azila mengangguk lemah, tangannya masih mengelus batu nisan di hadapannya dengan air mata yang sudah mengalir deras membasahi pipinya.
"Zila … kangen," cicit Azila dengan isakannya.
"Zila, gagal jaga mereka. Mereka pergi sebelum melihat dunia, itu semua gara-gara, Zila." Azila menunduk saat sudah tidak mampu menahan tangisnya. Sedangkan Gavin yang berada di samping istrinya lantas menarik tubuh mungil itu dan memeluknya erat.
"Sa--kit," cicit Azila meremas hoodie yang Gavin kenakan.
"Udah, nggak papa. Jangan sedih." Gavin mengelus pelan kepala Azila untuk menenangkan istrinya.
"Kalo kamu emang nggak kuat, kita bisa pergi dari sini. " Gavin berucap pelan, tangannya masih mengelus punggung Azila yang bergetar.
Dapat Gavin rasakan Azila mengangguk lemah dalam pelukannya membuat Gavin perlahan bangkit dan membantu Azila untuk bangkit.
"Kamu yakin, kita pergi dari sini?" tanya Gavin sekali lagi.
Azila terdiam beberapa saat, air matanya masih mengalir deras, ia menoleh ke arah gundukan tanah dengan perasaan kacau sebelum akhirnya mengangguk lemah.
"Ayok." Gavin merangkul pundak Azila dan menuntunnya untuk pergi dari sana.
Gavin tau apa yang Azila rasakan, kehilangan itu memang sangatlah menyakitkan. Dan Gavin juga merasakan itu, nyatanya walaupun mereka bukan darah dagingnya sendiri, tapi entah kenapa saat melihat Azila menangis karena kejadian itu, Gavin juga merasakan hal yang sama. Ia sakit melihat Azila sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
AZILA (Terbit)
Ficção AdolescenteCerita sudah terbit di Rdiamond Publisher! FOLLOW SEBELUM MEMBACA! "Patah hati terbesar seorang anak perempuan pertama, saat sosok seorang ayah yang menjadi cinta pertamanya justru menjadi alasan air matanya keluar!" Azila Katya W. Gadis kecil yang...