Indra duduk bersama beberapa kerabat Emma di meja bundar sembari menikmati makan siang mereka sebelum acara resepsi dimulai satu jam lagi. Meski pemandangan kaki bukit dan hutan yang megah bisa dinikmati dari tempat mereka duduk, topik yang dibicarakan hanyalah hal-hal membosankan seperti kemacetan di Cipularang atau lalu lintas Bandung.
Indra mengangguk-angguk dan sesekali menimpali obrolan yang berlangsung di sekitarnya, sementara pikirannya melayang ke mana-mana.
Indra mengambil paket pesta pernikahan di Hotel Padma Bandung, dengan pertimbangan lebih banyak saudara Emma yang berdomisili di Bandung. Indra juga membuka beberapa puluh kamar untuk teman dan kerabat dari Jakarta. Antara lain yang menginap adalah Ibrahim dan Hanum, serta Paula dan Erwin. Beberapa rekan firma menginap juga, namun lebih banyak yang memilih berangkat pagi-pagi sekali dari Jakarta.
Ayah dan Bunda Emma sudah datang kemarin malam, mereka juga menginap di hotel karena rumah kediaman mereka di Bandung sedang dikontrakkan. Dari bandara Soekarno-Hatta langsung naik shuttle menuju Bandung. Mereka memeluk Indra dan tersenyum ramah, meski kelelahan tergambar jelas di wajah kedua orang calon mertuanya itu. Indra baru bertemu lagi dengan mereka saat akad nikah pagi ini. Bunda menangis tersedu sepanjang akad, sementara Ayah terlihat menahan tangis, yang kemudian baru pecah setelah Indra dan Emma sah secara negara dan agama menjadi suami istri. Beberapa saudara Emma juga terdengar menangis tersedu.
Emma sendiri terlihat tenang dan tetap tersenyum, tak terlalu terbawa perasaan. Setelah menandatangani surat-surat yang diperlukan dan mencium tangan Indra (untuk diabadikan oleh fotografer pesta), Emma pergi menghibur kedua orang tuanya, sementara tamu dan kerabat mendekati Indra untuk memberi ucapan selamat.
Indra melirik ke arah Emma yang sedang berdiri di seberang ruangan. Emma mengenakan gaun longgar warna biru muda, berbahan tulle dan sutra dengan potongan sederhana. Rambutnya disanggul longgar tepat di atas leher dan anak-anak rambut dibiarkan membingkai wajahnya yang terpulas riasan tipis. Sekuntum bunga hydrangea berwarna biru pupus tersemat di rambutnya.
Emma terlihat begitu lembut dan anggun, mengingatkan Indra akan kelopak bunga lili di pagi hari, basah oleh embun. Emma terlihat sedang menghibur salah satu tantenya yang menangis tersedu dalam pelukannya. Emma menepuk punggung wanita itu, sembari mengucapkan sesuatu. Mengelilingi mereka berdua, beberapa orang terlihat menangis tersedu, beberapa orang tersedan tertahan, terus-terusan mengusap air mata menggunakan tisu.
Hanum dan Ibrahim terlihat sedang mengobrol dengan Ayah Bunda Emma di salah satu meja. Di meja lain, keluarga Emma terlihat mengobrol dengan suara pelan. Tak ada kegaduhan berarti. Suara instrumental piano solo terdengar mengisi keheningan.
Pihak Hotel Padma mendekor ruangan pesta dengan rangkaian bunga segar, irisan daun pandan, kain-kain putih yang menutupi dinding dan lampu kecil, membuat ruangan beraroma wangi segar, terlihat mewah dan namun tetap rendah hati.
Tetap saja, ada sesuatu yang terasa salah di pesta pernikahannya, ada yang hilang. Serasa tidak ada keriaan, sebaliknya yang paling mencolok malah perasaan muram. Indra tidak tahu kenapa dia merasa begitu, dan itu membuatnya gelisah sedari tadi. Seperti ada serat daging yang terselip di sela gigi. Kecil, namun amat mengganggu.
Indra akhirnya memutuskan pamit dari mejanya, dan berjalan menuju pondokan makanan yang menyajikan jus buah. Indra berdiri menatap barisan gelas bening berisi cairan warna-warni, dan memutuskan mengambil jus jambu.
"Kenapa pesta pernikahanmu lebih mirip pemakaman?"
Indra tertegun. Itulah yang membuatnya merasa terganggu sedari tadi. Karena semua tamu, atau lebih tepatnya, semua kerabat Emma yang datang, terlihat sungguh-sungguh berduka alih-alih merasa bahagia dengan pernikahan Emma dan Indra. Semua yang menangis, menangis sedih. Mereka tidak menangis terharu saking bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segala Masa Lalu Kita
RomanceEmma, Indra dan pernikahan mereka yang sarat bencana. - Unwilling wife, reluctant husband, a perfect recipe for disastrous marriage.