20

21.8K 2.7K 139
                                    

Emma berusaha menghibur diri, bahwa setidaknya, masih ada telur di kulkas dan Emma bisa membuatkan telur ceplok untuk makan malamnya dengan Indra.

Bencana ini bermula ketika Emma melihat sekantong daging iga beku di freezer. Air liurnya terbit membayangkan semangkuk sop buntut goreng yang panas mengepul, lengkap dengan emping, sambal cabai rawit dan  irisan jeruk nipis.

Kenapa Emma bisa memikirkan sop buntut padahal yang ada di kulkas adalah iga beku masih merupakan misteri hingga sekarang ini.

Yakin bahwa iga dan buntut bisa saling menggantikan, Emma lekas mencari resep sop buntut goreng di Internet. Emma memilih sebuah resep bernama Sop Buntut ala The Peak yang terlihat meyakinkan dan kelezatannya sudah teruji oleh orang-orang yang telah mencobanya.

Dengan semangat menggebu dan rasa percaya berlebih, yang tak seharusnya dimiliki oleh seseorang yang hanya menghadapi kompor saat warung makan dekat mess resor tutup, Emma mengirimkan pesan pada Indra, agar lelaki itu itu tak perlu membeli makan malam sepulang kerja.

Emma kemudian mengeluarkan iga beku dari freezer dan mulai mengecek kulkas serta rak bumbu. Setelah membuat daftar barang yang harus dibeli, Emma lalu turun ke lantai satu, berbelanja di Ranch Market. Kemarin, Indra memberikan kartu kredit suplemen atas nama Emma dan mentransfer uang saku ke rekening Emma, yang lebih besar dari gaji bulanan Emma saat dia masih bekerja di resor. Saatnya memakai kedua fasilitas itu untuk sesuatu yang berguna.

Itu enam jam yang lalu, saat matahari masih bersinar, dunia terasa penuh optimisme, dan Emma yakin bahwa dia akan keluar sebagai pemenang dalam upayanya menaklukkan si iga beku.

Kini, setengah jam sebelum jadwal kepulangan Indra, Emma menempelkan dahinya ke meja makan dengan lesu.

Hidup tak selalu seindah Instagram, dan makanan tak selalu selezat resep di Internet.

Dari resep yang Emma baca, membuat sop buntut goreng terdengar sangat mudah. Kupas-kupas, iris dan cemplung.

Sebenarnya, semua tahapan sudah dilalui Emma, sampai ke tahapan menggoreng dagingnya.

Di langkah terakhir itu, instruksinya adalah, daging dimasak di dalam bumbu goreng dan sedikit kaldu hingga kuah mengental dan bumbu meresap.

Sayangnya, tidak ada peringatan bahwa batas antara bumbu meresap dengan gosong amatlah tipis.

Terdengar suara pintu depan dibuka, kontan membuat Emma menegakkan tubuhnya.

Langkah kaki Indra terhenti, menandakan dia sedang berdiri di depan kabinet sepatu, melepas sepatu dan kaus kakinya.

Tak sampai semenit, lelaki itu sudah berdiri di hadapannya.

"Hei," sapa Emma, dengan keramahan yang dibuat-buat.

Indra tak membalas sapaannya. Tatapan lelaki itu kosong, dan dia hanya bergeming di tempat, wajahnya seperti orang linglung, seakan Indra tidak tahu apakah dia harus berlari mendekat atau berlari menjauh.

Kikuk karena ditatap sedemikian rupa, Emma berusaha merapikan rambut dan mengelap peluh di dahinya. Emma tahu tampangnya berantakan, dan aroma yang menguar dari badannya campuran antara bau keringat dan asap masakan.

"Oh, sori. Hai, Emma. Aku pulang."

Seakan tersadar dari lamunan, Indra meletakkan tas kerjanya di sofa dan berjalan mendekati Emma. Emma mengira Indra akan melewatinya dan berjalan ke kulkas. Namun lelaki itu berdiri di samping Emma, memeluk sembari mengusap punggung Emma, lalu mengecup ringan dahi gadis itu.

Segala Masa Lalu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang