36

17.2K 2K 44
                                    


Malam itu, tidur Emma gelisah.

Dia menyambut perasaan kantuk dengan rasa syukur, namun terbangun setidaknya dua atau tiga kali sepanjang malam. Pukul lima pagi, Emma tahu dia tak akan bisa tidur lagi. Emma ingin ke kamar mandi dan berusaha bangkit dari ranjang. Kepalanya masih agak terasa pusing, tapi tak seberat kemarin. Pandangannya juga sudah tak terlalu buram. Dia memutuskan untuk duduk di tepi ranjangnya, menunggu perasaannya membaik.

Tahu-tahu terdengar suara berkeriut dari arah belakang. Emma menoleh, dan mendapati Indra kini terduduk di ranjang. Rambutnya kusut dan wajahnya terlihat masih mengantuk. Indra terlihat mengais sandal kamar, yang biasanya selalu ada di sisi tempat tidurnya di apartemen. Rupanya Indra lupa ini bukan apartemen.

Akhirnya Indra berdiri dan berjalan mendekati Emma.

"Mau kemana?" tanyanya.

Emma melirik ke arah pintu kamar mandi, yang meski hanya berjarak tak sampai lima meter dari posisinya, terasa amat jauh. Emma masih merasa bersalah pada Indra, sehingga dia merasa agak segan meminta pertolongan pada lelaki itu. Tapi Emma tak punya pilihan lain.

"Ke kamar mandi," kata Emma.

Tanpa berkata apa-apa, Indra memosisikan diri di samping Emma, membantunya turun dari ranjang.

"Pelan-pelan," bisik Indra di telinga Emma. Menggunakan satu tangan, Indra setengah memeluk, setengah memapah Emma ke kamar mandi. Satu tangannya yang lain digunakan untuk menarik tiang infus.

Indra memeluknya agak terlalu erat, hingga Emma bisa mencium aroma pewangi pakain dari kaus yang dikenakan Indra, bercampur dengan aroma pemutih dari seprai rumah sakit.

Saat Indra dan Emma berjalan menuju kamar mandi, Emma menoleh sejenak ke arah jendela kaca luas di salah satu dinding. Langit sudah terlihat kemerahan dan hari baru pertanda di mulai.

Sekonyong-konyong, kesadaran mendalam menyergap perasaan Emma. Setelah pagi ini, semua tak akan sama. Tak lama lagi, dia mungkin akan meninggalkan Indra, atau malah, setelah tahu segalanya, Indra lah yang akan meninggalkan Emma.

Jantung Emma berdegub-degub. Untuk pertama kalinya, dia bisa membayangkan hidupnya tanpa Indra, dan mendadak, dia tak menginginkannya.

Dia ingin bahagia bersama Indra, tanpa dibayangi kengerian masa lalunya sendiri. Dia ingin sepenuhnya menyerahkan diri pada Indra, jiwa, raga, cinta dan kesetiaannya, tapi setelah sekian lama menekan perasaaan, setelah sekian lama menjerit dalam diam, tak tahu apakah dia mampu.

Emma mendadak memeluk Indra, lama. Matanya terpejam rapat, hidungnya menghirup napas dalam, berusaha mengingat-ngingat bagaimana hangatnya kulit Indra, bagaimana aroma tubuhnya, dan aman dan menyenangkannya berada dalam pelukan Indra.

Emma memeluk Indra dengan sepenuh hati, sadar betul bahwa ini mungkin untuk yang terakhir kalinya.

Emma melepaskan pelukannya, dan kembali berjalan ke kamar mandi tanpa berkata apa-apa. Indra kembali membantunya berjalan.

"Ada apa?" tanya Indra, keheranan.

Emma hanya balas menatap Indra dan mengulaskan senyum merana. "Tak apa-apa."

***

Kunjungan dokter Yunus dijadwalkan pukul sembilan pagi, dan pukul sembilan lebih lima belas, pintu kamar rawat Emma diketuk.

Indra membukakan pintu dan mempersilakan dokter Yunus—yang berumur sekitar enam puluh tahun dan seluruh rambut di kepalanya sudah memutih—serta dua orang perawat yang mendampinginya. Salah satu perawat membawa kursi roda, sementara yang lain membawa semacam kotak berisi aneka peralatan medis.

Segala Masa Lalu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang