31

16.3K 1.9K 74
                                    


Ruang tunggu di klinik dokter kandungan dicat menggunakan warna yang mengingatkan Emma akan warna kemasan Mylanta; hijau pupus kebiruan. Emma berharap dinding ruang tunggu ini di cat putih saja karena tiap kali mata Emma bersirobok ke arah dinding, seketika itu juga dia merasa mual dan perih.

Seorang perempuan yang sedang hamil tua terlihat keluar dari ruang periksa, didampingi suaminya. Seorang perawat berbaju salem memasuki ruang periksa sembari membawa map folio bersablon logo klinik. Bangku dan sofa yang ada di ruang tunggu setengahnya penuh terisi pasien, kebanyakan diantar oleh ibu atau suami mereka. Tiga orang perawat berada di balik meja panjang, yang satu mengambil data tekanan darah dan berat badan pasien, yang satu sedang menerima telepon sementara yang satu lagi sibuk menulis sesuatu. Seorang petugas kebersihan menyirami pot-pot pohon palem difenbachia yang diletakkan di berbagai sudut ruangan secara apik dan serasi. Sebuah TV plasma yang ditempel di dinding menyala dengan volume nyaris tak terdengar, menunjukkan berita pagi dari stasiun TV lokal Jakarta.

Keadaan di ruang tunggu terlihat sibuk namun tetap terasa tenang, semua orang berkata dengan suara rendah. Hanya ada sesekali teriakan perawat memanggil pasien yang akan masuk untuk diperiksa dokter.

Emma melirik ke arah arlojinya. Dia sudah satu jam berada di sini, berangkat dari apartemennya setengah jam setelah Indra berangkat ke kantor. Cepat atau lambat, Indra akan tahu soal apa yang Emma kerjakan, tapi dia akan berusaha membuatnya tahu selambat mungkin.

"Antrian nomor delapan, Ibu Maisya Ernita," panggil seorang perawat dari dalam ruang periksa.

Secarik kertas antrian yang digenggam Emma bertuliskan angka 22, dia masih akan berada di sini untuk beberapa lama lagi.

Emma akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang produktif selama dia menunggu. Emma mengambil dompet dari dalam tas dan mengambil selembar kartu nama dari sana. Selanjutnya Emma mengambil ponsel, dan mengetikkan nomor ponsel yang tertera di kartu nama. Gadis itu lalu menekan tombol panggil, dan menunggu beberapa saat sebelum pemilik nomor mengangkat panggilannya.

Ketika akhirnya panggilan Emma diterima, gadis itu menyapa dengan suara yang agak tegang dan kaku.

"Halo, Pak Erwin? Ini Emma. Ada yang perlu saya bicarakan. Bisa kita bertemu saat makan siang?"

***

Indra menghabiskan hari itu di PTUN dan baru kembali ke kantornya saat petang. Indra hanya berniat mengambil tas dan laptopnya, lalu kembali ke apartemen. Timnya yang mewakili sebuah asuransi BMUN berhasil baru saja memenangkan kasus di pengadilan. Biasanya kemenangan besar macam itu akan jadi alasan Indra untuk membuka meja di kelab, dan bersama rekan-rekannya berpesta sampai pagi. Salah satu anggota timnya bertanya soal rencana mereka untuk nanti malam, dan saat Indra bilang kalau dia tak punya rencana apa-apa, mereka hanya tersenyum maklum.

"Mending juga pulang, kruntelan sama nyonya ya, Pak Indra," seloroh Pak Mukti, salah satu rekannya yang lebih senior.

Indra hanya tersenyum mengiyakan, yang kemudian disambut tawa semua rekan satu timnya yang masih berkumpul di halaman parkir pengadilan. Mereka lalu saling berpamitan, kebanyakan langsung pulang ke rumah masing-masing, bersyukur karena jam pulang kantor masih satu jam lagi sehingga lalu lintas masih akan terhitung lancar. Hanya tiga orang termasuk Indra yang kembali ke kantor.

Tina, resepsionis kantor, seketika berdiri saat melihat Indra keluar dari lift. "Pak Indra!" panggilnya.

Indra yang sudah melangkahkan kakinya ke arah pintu kaca akhirnya membelokkan langkah, mendekati meja tinggi resepsionis. "Hai, Tina," kata Indra, memperlihatkan senyum terbaiknya. Suasana hatinya sedang baik, sehingga dia tidak merasa harus terburu-buru. "Apa kabar?"

Segala Masa Lalu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang