34

14.7K 2K 22
                                    


Dani berkeras mengantarkan Indra ke rumah sakit, dengan alasan dia tak bisa membiarkan Indra menyetir dalam suasana hati kalut. Sebelum pergi, mereka terlebih dahulu mengambil koper kecil yang sebelumnya dititipkan Dani di pos penjagaan koper gedung, karena memang pria itu datang langsung dari bandara untuk menemui Dani.

"Di mana Pak Dani akan menginap?" tanya Indra setelah mobil mereka keluar dari pintu gerbang gedung. Indra bertanya hanya untuk mengalihkan pikirannya dari apa yang mungkin dia temui di rumah sakit.

Apa yang terjadi dengan Emma? Mengapa Erwin ada di rumah sakit bersama Emma?

"Saya sudah mengontrak rumah di daerah Tangerang sejak beberapa bulan lalu, saat sudah ada ketetapan bahwa saya akan kembali bekerja di sini," kata Dani.

Mereka berlanjut membicarakan hal-hal yang sepele dan basa-basi sepanjang perjalanan ke rumah sakit, baik Indra maupun Dani secara sadar atau tidak, menghindari topik pembicaraan yang menyangkut Amel atau Emma.

Sesampainya di rumah sakit, Dani pamit dan mencari taksi, secara halus menolak ajakan Indra untuk ikut menjenguk Emma.

"Aku akan menunggu sampai situasinya memungkinkan," kata Dani, tanpa menjelaskan soal situasi bagaimana yang bisa disebut memungkinkan.

Indra kemudian bergegas ke IGD, menemui perawat yang berdiri di balik meja penerimaan pasien yang setinggi dada dan menjelaskan keadaannya. Suster tersebut menunduk sejenak, mengecek komputernya, sebelum akhirnya menegakkan tubuh dan berkata, "Keadaan ibu Emmalia Vanda sudah stabil, sekarang sedang dirawat di ruang Magnolia di lantai tiga, kamar 21."

Indra keluar dari IGD, masuk ke gedung utama rumah sakit dan dalam sepuluh menit, sudah tiba di ruangan yang disebutkan oleh perawat IGD.

Indra mengetuk pintu ruangan pelan, lalu menunggu.

Erwin yang kemudian membukakan pintu, pertama sedikit, lalu saat dia melihat siapa yang datang, Erwin membuka pintunya lebar-lebar, mempersilakan Indra masuk. "Pak Indra," kata Erwin dengan suara berbisik.

Indra memasuki ruangan, tanpa membalas sapaan Erwin, menuju ke ranjang di tengah ruangan tempat Emma berbaring. Indra berdiri di samping ranjang dan mengecup dahi Emma. "Emma," bisiknya pelan, sembari mengelus rambut gadis itu. Mata Emma terpejam rapat. Wajahnya sepucat seprai ranjang rumah sakit, hingga urat-urat kehijauan di pipinya terlihat jelas dan kulitnya terasa dingin. Indra memejamkan mata, dan menempelkan keningnya ke kening Emma.

Indra mendadak berdiri tegak, teringat akan keberadaan Erwin. Indra tak tahu apa yang terjadi dengan Emma dan sepertinya gadis itu tidak akan bisa menjawab pertanyaannya dalam waktu dekat ini, tapi Erwin bisa.

Erwin sedang berdiri di kaki ranjang, kedua tangannya dijejalkan ke kantung celana, kepalanya tertunduk memandangi ujung sepatu.

"Erwin?" panggil Indra.

Erwin mengangkat kepalanya, menatap Indra. "Ya, Pak?"

"Apa yang terjadi dengan istri saya?"

"Sekitar pukul sepuluh pagi tadi Bu Emma menelepon saya, meminta saya datang karena beliau merasa kurang enak badan."

Indra menoleh ke arah Emma yang masih tertidur di ranjang, menatapnya tajam, seolah dengan begitu Emma bisa bangun dan menjelaskan mengapa dia menelepon Erwin dan memintanya datang.

Erwin meneruskan penjelasnnya. "Saat saya datang, Bu Emma sudah kelihatan pucat, dan dia meminta saya mengantarnya ke rumah sakit. Kami baru mau mendaftar untuk konsul ke dokter saat Bu Emma ..." Erwin menekap mulutnya sejenak, kelihatan seperti terpukul harus membicarakan hal ini lagi. "Bu Emma mengalami kejang—"

"Kejang?" tanya Indra, nada suaranya penuh keheranan.

"Ya... matanya terbalik, tangan dan kakinya..."

"Saya tahu apa itu kejang. Tapi kenapa dia bisa kejang? Dokter bilang sesuatu?"

Erwin menggeleng. "Dokter kandungan yang biasa menangani Emma sedang tidak di tempat. Tadi hanya ada dokter IGD, tapi karena saya bukan siapa-siapa, beliau tidak banyak menjelaskan keadaan Bu Emma. Beliau hanya bilang Bu Emma beruntung karena cepat dibawa ke rumah sakit."

Indra terdiam, mencerna perkataan Erwin.

Erwin mengartikannya sebagai alasan untuk kembali bicara. "Kalau sudah tidak ada apa-apa lagi, saya mau pamit pulang, Pak Indra."

Indra menatap Erwin selama beberapa saat, sampai Erwin terlihat mulai terlihat gelisah dan kikuk sendiri. Dengan suara tenang, Indra bertanya, "Kenapa istri saya menelepon kamu, Erwin?"

Erwin menggosok tengkuknya dengan bimbang, matanya tertuju pada motif granit di lantai. Ketika dia kemudian punya keberanian untuk membalas tatapan mata Indra, Erwin menelan ludah dan menjawab. "Saya tak bisa mengatakannya."

Itu jawaban yang tidak disangka oleh Indra. Indra mengira Erwin akan berbohong, entah berbohong yang bagaimana, tapi dia akan tetap menjawab pertanyaan Indra dengan jawaban yang memuaskan. Indra tidak memperhitungkan lelaki itu akan terang-terangan melawannya.

"Kenapa?" tanya Indra, mati-matian mengontrol emosi di suaranya.

Erwin kembali menggosok tengkuknya, dia kelihatan sungguh-sungguh tertekan. "Client-lawyer privilege."

Indra tertawa kecil. Tawanya terdengar parau dan dipaksakan. Jenis suara tawa yang menandakan bahwa seseorang sudah nyaris gila. "Emma adalah klienmu? Untuk kasus apa?"

Erwin menghela napas. "Maaf Pak Indra, tapi saya tak bisa mengatakannya. Bapak harus menunggu Bu Emma siuman untuk tahu jawabannya."

Segala Masa Lalu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang