"Kamarku di lantai 22," kata Indra saat mereka memasuki lift.
Emma diam saja, dia masuk ke dalam lift dan bersandar di dinding, tangannya terlipat di depan dada, sementara Indra memilih berdiri dekat panel kontrol lift. Indra menekan angka 22 lalu menekan tombol untuk menutup pintu. Pintu lift menutup dengan desisan lembut, lalu memulai perjalanan ke atas.
Emma sempat mengecek ponselnya saat mereka memasuki parkiran apartemen beberapa menit yang lalu.
Pukul dua dini hari. Parkiran sepi, begitu pula lobi. Dan kini di lift, lantai demi lantai berlalu dan tak ada penumpang lain selain dia.
Mata Emma menatap kosong ke arah indikator lantai di atas pintu lift, melihat angka-angka berkedip dan berubah. Sesekali, gadis itu melirik ke arah tas koper miliknya yang berada di dekat kaki Indra, lalu menatap ke arah Indra yang sedang memunggunginya. Indra terlihat menunduk, tangan kanannya memegang ponsel sementara tangan kirinya dijejalkan ke kantong celana.
Perasaan Emma tidak karuan. Dia lelah, lapar, mengantuk dan kepindahan mendadaknya ini membuatnya kehilangan orientasi.
Melihat Indra terlihat kalem dan santai membuat darah Emma mendidih.
Dentang halus lift, yang menandakan bahwa mereka sudah sampai di lantai tujuan, mengalihkan perhatian Indra dan Emma.
Indra membiarkan Emma keluar lebih dahulu dari lift, baru kemudian dia menyusul.
"Kamu diam saja dari tadi," komentar Indra, begitu mereka keluar lift. "Kamarku ada di paling ujung sebelah kiri."
Emma dan Indra berjalan bersisian melewati koridor panjang berlantai marmer. "Aku merasa aneh berada di tempat asing begini. Mungkin ini rasanya jadi ART saat baru datang ke rumah majikan mereka."
Indra mengerutkan dahi. "Kamu bukan pembantu," kata Indra, nadanya terdengar datar, dan entah bagaimana membuat Emma makin merasa jengkel.
"Tentu saja bukan," kata Emma dengan senyum manis palsu. "Pembantu merupakan pekerjaan halal dan bermartabat, bukannya pezina seperti aku."
Indra tertawa kecil, namun setelah Emma menoleh dan menatap Indra dengan tatapan menusuk, lelaki itu menyembunyikan tawanya dengan dehaman.
"Ini tahun 2016, Emma. Tidak ada yang menyebut orang yang hamil di luar nikah sebagai pezina."
"Masa? Sekarang disebut apa dong? Anak gaul?"
Indra berhenti di depan sebuah pintu bernomor 2215, lalu berbalik menghadap gadis itu.
"Emma, ayolah, sekarang sudah pukul dua dini hari--"
"Betul juga. Berhubung aku dibawa ke apartemenmu secara diam-diam pukul dua dini hari, mungkin aku seharusnya disebut simpanan." Emma menelengkan kepala, pura-pura berpikir.
Rahang Indra terlihat berkedut, menandakan kesabaran lelaki itu mulai menipis. Baguslah, pikir gadis itu, setidaknya dia tidak merasa kesal dan jengkel sendirian.
"Atau, gundik? Menurutmu mana yang lebih cocok?"
Indra menatap Emma tajam, dan mereka saling beradu pandang, tanpa ada yang mau mengalah. Detik-detik berlalu dan mendadak, Emma merasa khawatir kalau dia sudah keterlaluan.
Bagaimana kalau Indra kemudian mengusirnya?Emma tidak punya pekerjaan dan tidak punya tempat tinggal, dan dia tidak yakin apa yang akan dilakukannya kalau terlunta-lunta di kota asing ini pukul tiga pagi.
Telapak tangan Emma mulai berkeringat dan dia merutuk dalam hati. Emma hampir saja memutuskan kontak mata mereka, menunduk dan meminta maaf, tapi Indra lah yang duluan memecah keheningan.
"Kamu akan jadi istriku," kata Indra dengan suara pelan. Indra balik badan, mengambil kunci dari kantung celananya. "Sebaiknya kita masuk sekarang."
Kekalahan terdengar jelas dari suara lelaki itu dan entah bagaimana, bahu Indra yang merosot turun dan posisi Indra yang memunggunginya membuat hati Emma terasa sedikit nyeri dan cemas.
Suara kecil di kepala Emma menjerit-jerit, menyuruhnya meminta maaf. Emma ingin meletakkan lengan di bahu Indra, memintanya agar berhenti memunggunginya dan meminta maaf.
Maaf... maaf... maaf...
Namun mulut Emma terasa seperti terkunci, dan gadis itu hanya mengepalkan tangan kuat-kuat.
Pintu apartemen terbuka, namun tidak seperti saat di lift, Indra tidak mempersilakan Emma masuk lebih dulu. Lelaki itu berjalan memasuki apartemen, membiarkan pintu menjeblak terbuka di belakangnya, membiarkan koper Emma berdiri di ambang pintu.
Emma menyadari signifikansi tindakan Indra.
Enter at your own free will. I offer you marriage. I offer you safety and protection. Jangan bertingkah seakan aku mengalungkan belati di lehermu untuk memaksamu untuk datang ke sini.
Emma menatap kopernya, dan mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Sembari menggertakkan rahang, dan mengembuskan napas kasar, Emma meletakkan tangan di gagang koper.
Dia sudah memutuskan, dia akan bisa bertahan tinggal di manapun. Hidup Emma tidak pernah tenang, tidak pernah aman, dan sudah begitu selama bertahun-tahun. Tambah beberapa bulan lagi tidak akan berarti banyak baginya.
Dengan tekad terbarukan, Emma menggeret koper lalu memasuki apartemen Indra, dan menutup pintu di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segala Masa Lalu Kita
RomanceEmma, Indra dan pernikahan mereka yang sarat bencana. - Unwilling wife, reluctant husband, a perfect recipe for disastrous marriage.