Tangan Indra yang sedang mengangkat gelas tinggi berisi air putih ke bibirnya berhenti di udara saat mendengar kata-kata Emma.
Ekspresi lelaki itu berubah begitu drastis, hingga Emma nyaris iba.
Indra yang selalu tenang dan yakin akan dirinya sendiri. Indra yang dengan arogannya memastikan bahwa besok pukul sembilan pagi mereka akan jadi suami istri.
Selama beberapa detik, Indra terlihat bingung luar biasa, dan keraguan tampak jelas menggayuti air mukanya.
Seakan sepanjang hayatnya, baru kali ini Indra mendengar kata 'cinta' dan tidak tahu apa artinya kata asing itu.
Indra menurunkan tangan, meletakkan kembali gelasnya ke meja. Ketika lelaki itu kembali menatap Emma, ekspresinya berangsur normal.
"Menikah tanpa cinta...." ulang Indra lambat-lambat. "Sounds like some kind of unusual and cruel punishment, yang aku yakin sudah dilarang di Konvensi Jenewa." Indra meminum seteguk air putih, dan kini dia terlihat sepenuhnya seperti Yang Mulia Indra Wiratama, waspada, agung dan berwibawa.
Sambil melipat kedua tangan di meja dan memajukan tubuh, Indra melanjutkan ucapannya, dengan wajah sedatar papan setrikaan. "Kalau begitu, kita beruntung... karena aku mencintaimu," Indra mengumumkan dengan mantap, seakan sedang memberi tahu Emma bahwa besok pagi matahari akan terbit dari arah Timur.
Pernyataan itu begitu konyol hingga Emma menyeringai. "Kenapa tidak bilang dari tadi!" Gadis itu tertawa terbahak-bahak. Sambil menyeka air mata geli, Emma berkata, "Kan perdebatan kita jadi tidak berguna."
Indra ikut tertawa melihat gadis itu tertawa. Emma tidak menyadari bahwa tawa membuat sorot matanya bercahaya dan pipinya kemerahan. Menyadari betapa manisnya gadis di hadapannya ini, tawa Indra mereda menjadi senyum masam.
Emma tidak menyadari perubahan raut wajah Indra. Suasana hati Emma terasa membaik seiring dengan ketegangan yang mencair di antara mereka. Emma serasa diingatkan bahwa ini lelaki sama yang tertawa bersamanya saat diceritakan soal pemilik resor yang memindahkan gunung demi istrinya.
Emma mulai merasa lapar dan dengan perasaan ringan, gadis itu mengangkat garpu dan mulai menyantap hidangan di hadapannya.
Indra benar, fettucine ini enak sekali, meski mulai mendingin begini. Emma tersenyum sedikit.
"Begitu dong," komentar Indra.
"Begitu apa?" tanya Emma, lalu kembali menyuap kembali makanan ke dalam mulutnya.
"Tersenyum," kata Indra. "Aku pernah melihat mayat yang wajahnya terlihat lebih ceria dari wajahmu saat kita bertemu tadi sore."
Emma hanya terkekeh pendek. "Di mana kamu bertemu mayat semacam itu?"
"Kamu tak akan mau tahu," kata Indra sambil menggeleng.
"Oke," sahut Emma sambil mengedik kecil, kembali menghabiskan makan malamnya. Indra sudah selesai sejak tadi.
Indra terdiam sejenak, memperhatikan Emma. Lalu sambil menghela napas panjang, Indra berkata, "Baiklah, kalau kamu memaksa."
Emma tersedak tawa. Sambil menekap mulut, agar makanannya tak tersembur, tangan Emma menggapai gelas.
Setelah meminum seteguk air, Emma langsung menyuarakan protes. "Aku tidak memaksamu bercerita," kata gadis itu, masih tertawa.
Indra menyeringai. "Kamu orang pertama yang menyerah begitu saja," kata Indra dengan suara lembut. "Yang lain, selalu berusaha membuatku bercerita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Segala Masa Lalu Kita
RomanceEmma, Indra dan pernikahan mereka yang sarat bencana. - Unwilling wife, reluctant husband, a perfect recipe for disastrous marriage.