Ayah dan Bunda akan kembali ke Belanda menggunakan penerbangan sore itu. Emma dan Indra sepakat untuk menemani mereka seharian. Sarapan, berbelanja untuk membeli beberapa barang untuk dibawa ke Belanda, makan siang, dan kembali ke hotel untuk beristirahat, dan pukul tiga sore, mengantarkan Ayah dan Bunda ke Husein Sastranegara sebelum mereka kembali ke Jakarta sore itu juga."Kalau Ayah atau Bunda bertanya tentang kita, apa yang akan kamu katakan?" tanya Emma begitu mereka keluar kamar, bersiap turun ke restoran hotel untuk sarapan.
Indra menatap Emma dengan pandangan bertanya. "Maksudmu? Kalau mereka tanya, ya aku akan menjawab sebisanya dan yang sebenarnya."
Emma sudah berusaha sekuat tenaga untuk tak terlalu merasa resah, tapi makin lama, membayangkan Indra menghabiskan satu hari ini dengan kedua orang tuanya, membuat Emma ingin menjambak-jambak rambut saking stresnya. Emma tidak bisa memprediksi ke arah mana obrolan mereka hari ini. Emma tidak tahu apakah Indra akan bicara terlalu jujur, atau orangtuanya akan mengorek terlalu dalam.
"Maksudku... kalau mereka bertanya bagaimana kita bertemu... Bagaimana? Mereka tahu aku bekerja di resor, dan mereka tahu siapa kamu. Apa jawabanmu?" tanya Emma, sembari menjajari langkah Indra yang berjalan dengan cepat menuju lift.
Indra berhenti berjalan dan menghadap Emma. "Aku akan bilang aku sedang jadi tamu hotel dan aku melihat gadis dengan tatapan mata paling kesepian yang pernah kulihat, dengan ular bergantung di dahan dekat kepalanya."
Mulut Emma ternganga, dia bisa merasakan bulu kuduknya meremang mendengar deskripsi Indra akan pertemuan pertama mereka. Emma tahu tubuhnya tak terlalu menggairahkan dan wajahnya tak cantik-cantik amat. Tapi selama ini, dia selalu mengira ketertarikan Indra padanya hanyalah fisik belaka, ledakan gairah sesaat yang tak berarti.
Mendapati Indra dengan akurat menebak kondisi emosinya kala itu membuat Emma merasa bahwa mungkin ada yang salah dengan penilaiannya terhadap Indra selama ini.
Dengan tak sabar, Indra menggamit lengan Emma. "Cepatlah, jangan sampai orangtuamu menunggu."
Emma membiarkan Indra menariknya di sepanjang koridor, menuju lift. Kepala Emma masih penuh dengan aneka pertanyaan saat lift terbuka dan mereka masuk ke dalam. Sudah ada tiga orang lain di dalam lift, seorang ibu dan dua anak lelaki mereka yang masih remaja, keduanya sibuk dengan ponsel mereka masing-masing. Dilihat dari koper-koper dan ransel yang berdiri dekat kaki mereka, kelihatnnya seperti tamu hotel yang hendak checkout.
Emma dan Indra mengambil posisi ke masuk ke sudut lift, Emma menjauhkan diri beberapa langkah dari Indra.
"Apa kamu mencintaiku?"
Emma tak bermaksud bertanya keras-keras. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya.
Untungnya tiga orang penumpang lift yang lain pura-pura tak mendengar. Kedua anak remaja itu menunduk makin dalam menatap layar ponsel, sementara ibu mereka menatap ujung sepatu yang dia kenakan sembari menggaruk-garuk belakang telinga.
Indra menoleh ke arah Emma, berdecak tak sabar. "Apa maksudmu?"
Sudah kepalang basah, Emma memberanikan diri untuk mendesak Indra. "Kamu hanya perlu menjawabnya."
Indra menghela napas. "Begini... Normalnya, orang jatuh cinta, menikah lalu punya anak. Sementara, kita punya anak dulu, lalu sekarang menikah—"
"Lalu nantinya jatuh cinta?" potong Emma, mendadak merasa panik.
Dia tak ingin Indra jatuh hati, apalagi jatuh cinta padanya. Akan tak adil untuk lelaki itu kalau tahu sebenarnya motif Emma mengandung anaknya.
Itulah mengapa sejak awal Emma tak ingin menikah dengan Indra. Dia tak ingin membuat hidupnya makin rumit. Emma takut jatuh cinta pada Indra, tapi lebih takut lagi kalau Indra jatuh cinta padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segala Masa Lalu Kita
RomanceEmma, Indra dan pernikahan mereka yang sarat bencana. - Unwilling wife, reluctant husband, a perfect recipe for disastrous marriage.