Ketika Emma membuka mata, dia menyadari tiga hal. Satu, dia tidak sedang berada di kasur di apartemen. Dua, seluruh badannya sakit, pegal dan kaku digerakkan. Tiga, tenggorokannya kering kerontang.
"Emma?"
Suara itu terdengar samar dan bergema, seolah Emma sedang berada di dalam air dan seseorang memanggilnya. Susah payah, Emma menoleh ke sumber suara. Pemandangannya berbayang, dan kepala orang yang memanggilnya tepat berada di atas wajahnya, membelakangi cahaya lampu.
"Indra?" panggil Emma dengan suara lirih.
Indra menggenggam tangan Emma. Telapak tangan lelaki itu terasa hangat. Emma berusaha duduk namun Indra menahan bahunya. "Jangan terburu-buru," kata Indra. "Nanti pusing."
Emma menurut. Dia mengangkat tangan, dan menyadari jarum infus sudah menusuk punggung tangannya, selangnya terhubung ke kantong berisi cairan bening di tiang infus. "Sekarang sudah pukul berapa?" tanya Emma.
"Sembilan malam. Kamu mau makan? Satu jam lalu, makan malam diantar."
"Aku mau minum."
Indra meninggalkan Emma sejenak dan kembali membawa segelas air putih. Indra kemudian mengambil remote dari sisi ranjang dan mengatur agar kepala ranjang naik, sehingga posisi Emma kini setengah terduduk. Indra membantu Emma minum. Emma baru berhenti minum setelah seluruh airnya habis tak bersisa.
"Haus?" tanya Indra, tersenyum simpul.
Emma hanya meringis kecil, lalu mengangguk. Dia mengamati Indra yang kini sedang meletakkan gelas di nakas samping ranjang. Emma memperhatikan sekelilingnya, perlahan-lahan mulai menyadari kalau dia berada di rumah sakit.
Kamar yang kini ditempati Emma lumayan luas, dengan dinding di cat warna kuning gading yang hangat, seperangkat sofa dan meja kaca rendah, ranjang untuk penunggu pasien serta kamar mandi dalam. Udaranya sejuk oleh AC yang mengembuskan udara dingin sepanjang waktu. Beberapa lukisan ditata dengan apik di dinding. Selain tiang infus, ranjang elektrik dan sekumpulan obat di nakas, kamar ini lebih mirip kamar hotel daripada kamar perawatan di rumah sakit.
Beberapa jam setelah Indra berangkat ke kantor, dan dia terbangun dari tidur dengan kepala pusing luar biasa. Pandangannya mengabur dan Emma tahu kalau dia harus segera ke rumah sakit. Emma memilih menelepon Erwin, setelah beberapa hari yang lalu menyanggupi untuk mejadi pengacara Emma.
"Kamu mau makan malam sekarang?" tanya Indra, yang membuyarkan lamunan Emma.
Emma menatap Indra. "Kalau ada buah, aku mau buah saja. Apel."
Indra berjalan ke meja kecil di dekat kulkas, dan kembali membawa sebutir apel yang di wadahi piring kertas. Indra duduk di kursi rotan imitasi di samping ranjang dan mulai mengupas apel.
"Kamu tadi pulang?" tanya Emma, saat menyadari kalau Indra sudah menggunakan celana training dan kaus.
Masih sambil mengupas, Indra menolehkan kepalanya ke arah lemari dua pintu yang menempel di dinding. "Ya, aku membawa dua koper pakaian, satu milikku, satu milikmu. Kalau-kalau kita akan lama di sini."
Indra terdiam, lalu kepalanya menunduk, mengupas senti demi senti kulit apel. Menit demi menit berlalu tanpa ada yang bicara.
Emma mulai merasa agak gelisah. Indra tidak terlihat marah, terganggu, mengingat dia mendapati Emma ke rumah sakit di antar Erwin. Malah, Indra terlihat tenang. Telalu tenang.
Apakah Erwin sudah mengatakan keadaan yang sebenarnya pada Indra? Emma menyangsikannya, Erwin sudah berjanji bahwa dia hanya akan mendiskusikan kasus mereka, jika Emma sudah mengizinkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segala Masa Lalu Kita
RomanceEmma, Indra dan pernikahan mereka yang sarat bencana. - Unwilling wife, reluctant husband, a perfect recipe for disastrous marriage.