22

21.5K 2.7K 55
                                    

Mereka berdiri bersandar di railing balkon yang terbuat dari besi tempa kokoh bercat hitam. Dua pot plastik besar ditanami cemara pecut tinggi berada di masing-masing ujung balkon, memberi privasi yang cukup bagi mereka berdua.

Sayup-sayup, suara musik bernada lembut terdengar dari dalam, dari ballroom hotel tempat berlangsungnya pesta pertunangan Indra dan Emma.

Indra mengembuskan asap rokok yang sebelumnya dia isap dalam-dalam, berhati-hati agar tak ada abu yang memeletik ke jas yang ia kenakan.

Paula melakukan hal yang sama. Tiap kali mengembuskan napas dari mulut, wanita itu mendongakkan kepala, menatap asap putih kebiruan membentuk jejak lurus, kemudian hilang di udara.

Indra merokok secara sosial. Dia selalu menerima ajakan merokok klien atau temannya, cukup sebatang setiap kalinya.

Merokok bersama memberi alasan bagi dua orang untuk bertukar obrolan, atau malah untuk tidak mengobrol sama sekali. Seperti yang sering Indra lihat terjadi di pintu bagian belakang gedung kantornya. Segerombolan pekerja, setelah makan siang, duduk di bangku panjang, maupun berdiri menggelilingi tempat sampah stainless ramping, menghabiskan sebatang rokok sebelum kembali bekerja.

Kalau waktunya memungkinkan, setelah berhubungan seks, Paula dan Indra sering merokok bersama di balkon kamar hotel mereka.

Kali ini, mereka sama-sama di balkon hotel, namun untuk sesuatu yang berbeda. Saat tadi Paula dan Erwin mengucapkan selamat pada Indra dan Emma, di tengah-tengah obrolan, Paula mengisyaratkan, secara halus, menggunakan gerakan dagunya, agar Indra mengikutinya.

Paula duluan pamit menuju balkon, Indra pamit lima menit kemudian.

Indra memang berjanji pada diri sendiri untuk menjadi orang yang lebih baik demi Emma. Namun dia tak akan menyingkirkan persahabatannya dengan Paula begitu saja.

Indra tahu Paula tak menginginkan apa pun darinya, wanita itu hanya bermaksud mengucapkan perpisahan pada Indra.

"Ketika minggu lalu kamu bilang soal kita bertemu lagi, same time next week, kupikir maksudmu kita bisa bertemu lagi, berdua saja. Bukannya bertemu lagi, di pesta pertunanganmu," kata Paula, setelah dia menjejalkan puntung rokok yang masih menyala, ke dalam tanah pot.

Indra tersenyum. "Kalau minggu lalu ada yang bilang bahwa minggu ini aku akan bertunangan, percayalah, aku akan tertawa di depan mukanya."

Paula tak ikut tersenyum. Raut wajah wanita itu merupakan campuran antara sedih dan prihatin.

"Kenapa kamu menikahinya?" tanya Paula. Indra terdiam, menatap lekat Paula, hingga akhirnya wanita itu mengedikkan bahu. "Aku hanya ingin tahu."

Indra membalikkan badan, dia meletakkan kedua tanganny pada railing balkon, menatap ke arah kolam renang yang bersinar-sinar di bawahnya.

"Emma hamil," jawab Indra pendek.

"Sure, Einstein," kata Paula, memutar bola matanya. "Aku dan tiga ratus undangan lain juga bisa melihat kalau Emma hamil. Maksudku, kenapa kamu menikahinya?"

Indra menatap Paula lekat. "Menurutmu itu bukan alasan yang cukup?"

"Tentu saja bukan, memangnya ini tahun berapa? Tidak semua perempuan hamil bersedia dinikahi oleh pria yang menghamilinya. Sebaliknya, tak semua pria menikahi perempuan yang dihamilinya."

Indra terkekeh sembari menggelangkan kepala. "Kamu seharusnya mengobrol lebih dekat dengan Emma, aku yakin kalian akan jadi sahabat baik. Dia juga awalnya menolak tawaran pernikahanku."

"Gadis pintar," kata Paula, wajahnya tetap datar.

Indra menatap Paula, tahu bahwa Paula tak akan berhenti bersikap dingin sebelum Indra memberikan alasan yang, setidaknya menurut Paula, tepat.

"Aku lelaki pertama yang pernah bersamanya, Paula. Anak itu anakku, tak ada keraguan."

Paula tertawa ringan, tapi cukup untuk mencairkan suasana. "Indra, ayolah, itu lebih parah lagi. Kalau semua pria menikahi perempuan yang keperawanannya mereka renggut, bisa-bisa pegawai KUA dan kantor catatan sipil mogok kerja, minta naik gaji."

Indra ikut tertawa. "Kalau begitu, aku tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaanmu itu."

Tawa Paula mereda, sorot matanya melembut. "Kamu tahu jawabannya, hanya saja menolak untuk mengakuinya."

"Memang apa jawabannya?"

"Kamu menyayanginya, dan dari yang kulihat, tinggal segini lagi," Paula mendekatkan jempol dan telunjuknya hingga berjarak satu senti, "sebelum kamu jatuh cinta padanya."

Indra ingin memberitahu bahwa sudah tidak ada lagi jarak antara jempol dan telunjuk, namun Indra merasa lebih bijak kalau dia tutup mulut.

"Doakan saja," kata Indra akhirnya, tersenyum tipis.

Paula menghela napas dan ikut tersenyum. Dia mendekati Indra dan berjinjit sedikit, mencium pipi kiri pria itu.

"Aku yakin kamu akan bahagia, Indra," kata Paula tulus.

Indra tak membalas kecupan Paula, seperti yang biasanya dia lakukan, menandai berakhirnya era ketika Indra dengan mudahnya menyentuh perempuan-perempuan yang mengelilinginya.

"Kita masuk sekarang?" tanya Indra.

Paula mengangguk. "Aku tidak mau membuat teman kencanku atau tunanganmu menunggu."

Mereka berdua berjalan meninggalkan balkon, mulai memasuki ballroom. "Jadi sekarang kamu dan Erwin berkencan?" goda Indra.

Paula berdecak. "Aku menerima ajakan Erwin karena dia temanmu, dan karena datang sendirian ke pesta pertunangan lelaki yang pernah tidur denganmu terdengar depresif."

Indra tergelak. "Kamu harusnya memberi kesempatan pada Erwin, dia anak baik. Kalian pasti cocok."

"Melihat track record-ku, mantan suamiku dan kamu, contohnya, aku yakin anak baik bukanlah seleraku," ujar Paula. "Meski kuakui selera humornya lumayan juga. Lumayan aneh, maksudku."

"Oh ya?" tanya Indra, merasa tertarik. "Contohnya?"

"Dia menggunakan Xenia untuk menjemputku. Aku sampai bingung saat melihat Erwin turun dari mobil."

Indra terkekeh, mengamati dandanan Paula dari ujung rambut ke ujung kaki. Wanita itu mengenakan giwang dan kalung berlian dari Cartier, dompet kecil dari Manolo Blahnik yang warnanya sesuai dengan gaun beledu biru tua dari Chanel, serta sandal hak tinggi bertabur Swarovski keluaran YSL.

Orang yang melihat Paula turun dari Xenia dengan segala gemerlapnya, pasti langsung mengira Paula mengenakan barang-barang KW.

"Erwin tidak sedang melucu. Memang itu mobilnya."

Di garasi rumah yang ditinggali Paula dan orang tuanya, terparkir tujuh mobil, dengan mobil paling sederhana adalah Honda Oddyssey. Sehari-hari, Paula menggunakan sedan sport McLaren dua pintu.

Maka tak ayal, mendengar perkataan Indra membuat mata Paula membulat, dengan kekagetan yang tak dibuat-buat. "Satu-satunya?"

Indra makin terbahak. "Benar kan? Aku sudah bilang kalian pasti cocok.

Segala Masa Lalu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang