7

27.6K 3.7K 61
                                    



Emma berdiri di depan wastafel, menggosokkan tangan di bawah keran yang mengalirkan air, mencuci tangannya bersih-bersih. Gadis itu lalu mematikan keran kemudian mendekatkan ujung-ujung jemarinya ke hidung. Bau bawang putih yang semula tajam kini tercium samar. Hari ini dia diberi tugas mengupas dua puluh kilo bawang putih, dan Emma bersumpah, kalau sekarang dia melihat satu siung saja bawang putih...

"Emma, ayo Ibu duluan!" kata Bu Sundari sambil menepuk ringan bahu Emma saat melewati Emma. Perempuan paruh baya bertubuh gempal berjalan menuju pintu dengan lambat dan Emma menjawab, "Iya Bu, sampai ketemu besok."

Tapi baru lima menit, Emma kembali bertemu Bu Sundari. Emma sedang berjalan menuju lorong yang mengarah ke pintu keluar, Bu Sundari berjalan tergopoh-gopoh dari arah sebaliknya.

Emma menautkan alis, dia tidak pernah melihat Bu Sundari berjalan secepat itu, kecuali dua bulan yang lalu, saat salah satu kompor yang ada di dapur meledak dan terjadi kebakaran kecil hingga semua pekerja harus dievakuasi.

Bu Sundari berhenti di hadapan Emma, terengah-engah dan wajahnya yang bulat putih kini semerah kepiting rebus.

"Emma... Emma..." kata Bu Sundari, megap-megap, tangannya menunjuk ke arah pintu keluar.

"Kenapa Bu?" tanya Emma, memegangi kedua lengan atas Bu Sundari, berusaha menenangkannya.

"Ada yang cari kamu..." kata Bu Sundari. "Dia bilang.... Namanya..." Perempuan itu menggeleng-geleng, masih kehabisan napas. "Indra Wiratama..."

Emma melepas pegangannya dari Bu Sundari seakan Bu Sundari terbuat dari besi panas. Nyaris tanpa sadar, Emma melangkah mundur satu langkah.

Bu Sundari tahu siapa Indra Wiratama. Bu Sundari yang polos dan baik hati, salah satu dari sedikit orang yang tidak menatapnya dengan sorot mata ingin tahu atau melempar senyum wow-lihat-perempuan-bodoh-ini saat kehamilan Emma mulai tak bisa ditutupi.

Emma tahu semua orang di resor bisa menebak siapa yang menghamilinya. Emma nyaris hidup bagai pertapa dan selama Emma bekerja di resor, hanya satu kali dia terlihat akrab dengan pria.

Hanya dua jam di Kamis pagi itu keberadaan Emma tidak diketahui.

Enam minggu kemudian, morning sick yang diderita Emma demikian parah hingga dia memberanikan diri untuk pindah dari divisi Event yang penuh tekanan dan kegiatan.

Pada Bu Sundari-lah Emma cukup percaya untuk mengatakan apa yang sudah dicurigai semua orang di resor; bahwa Indra Wiratama adalah ayah dari bayinya.

Emma menyesal, segera setelah dia mengatakan yang sebenarnya pada Bu Sundari.

Dalam kesederhanaan pikirannya, Bu Sundari setengah menasehati, setengah memaksa Emma untuk menghubungi Indra Wiratama. Dengan halus, Emma menolak masukan Bu Sundari.

Namun Bu Sundari begitu gigih untuk berusaha mengubah pikiran Emma, hingga akhirnya Emma mengambil jalan pintas. Emma berusaha menggambarkan Indra sebagai pria kota yang kaya raya, berkuasa, tak punya hati, tinggal di rumah mewah berpagar tinggi. Bayangkan kalau Emma datang ke Jakarta dan mengatakan bahwa dia hamil. Tidak sampai satu menit, Emma akan ditendang keluar, hujan akan turun dan Emma akan berpegangan pada pagar rumah mewah, sambi menangis tersedu dan melolongkan nama Indra.

Bu Sundari cukup sering melihat sinetron Indonesia dan drama Turki untuk menerima imajinasi konyol semacam itu. Tapi kadang Emma bertanya-tanya apa dia sudah keterlakuan.

Bu Sundari memang tidak pernah lagi mengungkit-ungkit soal Indra. Namun, kalau bu Sundari mengira Emma sedang tidak melihat, perempuan paruh itu memperhatikan Emma dengan tatapan melankolis dan menyusut air mata dari sudut matanya.

Tak heran reaksi Bu Sundari kesetanan begini saat tahu Indra Wiratama menunggu Emma di depan.

Emma menghela napas. Dia tidak memperhitungkan bahwa Indra akan mencarinya dan kini dadanya berdebar tak karuan.

"Oke," kata Emma akhirnya, lebih pada dirinya sendiri. "Aku akan menemuinya."

Dengan gagah berani, Bu Sundari menggandeng erat tangan Emma. "Jangan khawatir, Ibu temani kamu."


Segala Masa Lalu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang