Emma menggunakan tangan kanannya untuk menurunkan handel pintu sementara bahu kanannya mendorong daun pintu besi yang berat itu. Melangkah keluar, dan matanya tertumbuk pada Indra.
Indra sedang menelepon, dia berdiri menyamping, tangan kirinya dijejalkan ke kantung celana. Matahari sore bersinar hangat dan pria itu berdiri membelakangi matahari, membuatnya bermandikan cahaya. Indra mengenakan kaca mata hitam, kaus polo biru muda dan celana chino warna kaki.
Indra lebih jangkung dan lebih tampan dari yang diingat Emma, dan Emma bisa merasakan sensasi hangat merambati wajahnya.
Emma, Emma... Kamu manis sekali.... bisik Indra pagi itu di telinganya, sembari menciumi sisi leher Emma.
Emma melihat tangan Indra yang menggenggam ponsel, dan mengingat bagaiamana rasanya dibelai lelaki itu. Lelaki itu kuat dan lembut, penuh gairah namun berhati-hati.
Emma rasanya ingin berlari, memeluk Indra, bertanya apakah Indra pernah mengingat pagi itu, seperti Emma mengingatnya hingga nyaris gila.
"Emma..." bisik Bu Sundari, membuyarkan lamunan Emma.
Indra rupanya menyadari kehadiran Emma dan Bu Sundari. Sambil tetap menelepon, dia menoleh, lalu berjalan ke arah mereka. Baru setalah jarak mereka tinggal beberapa langkah, Emma mendengar Indra berkata, "Kita lanjutkan lagi nanti. Ada yang harus kubereskan."
Sesuatu seperti patah dalam hati Emma. Cara Indra mengatakan bahwa Emma hanyalah sesuatu yang perlu dibereskan, membuat Emma merasa seperti gelas kotor yang hendak dibawa ke bak cuci piring.
"Emma," kata Indra sambil tersenyum tipis. Lelaki itu membuka kacamatanya dan mencantelkannya di kerah, dan Emma menyadari senyum Indra tak sampai ke matanya. Mata lelaki itu keras dan tanpa ampun.
"Hari ini kok sore sekali?" kata Indra lagi, seolah lelaki itu selalu menjemput Emma setiap hari tanpa kecuali.
"Ada hal penting yang harus kuselesaikan," kata Emma, berharap suaranya penuh kebanggaan dan percaya diri, seakan perdamaian dunia bergantung pada dua puluh kilo bawang putih yang tadi dia kupas.
Emma bisa merasakan Bu Sundari meremas tangannya, memberinya kekuatan. Diam-diam, Emma mensyukuri kehadiran Bu Sundari di sisinya.
"Aku sudah berdiri di sini selama lima belas menit," kata Indra, alisnya bertaut, raut wajahnya menampakkan kesedihan. "Aku harap ini bukan kebiasaanmu, membuat orang lain menunggu."
Menunggu lima belas menit dan Indra bersikap seakan Emma baru saja membunuh anjing peliharaannya, lalu membakar rumah beserta isinya!
Rasanya Emma ingin berteriak, aku baru saja melewati tiga bulan mengeluarkan isi lambungku setiap dua jam sekali! Aku harap ini bukan kebiasaanmu, menghamili anak orang dan membuatnya mengalami trimester pertama yang lebih mirip neraka dunia.
Susah payah menahan perasaan, Emma berkata dengan dingin, "Aku turut menyesal, lima belas menit yang terbuang percuma dan tak bisa kembali."
Di luar dugaan, Indra menyeringai. Wajah pria itu mendadak terlihat beberapa tahun lebih muda saat dia tersenyum dan menelengkan kepala. "Turut menyesal? Itu saja yang bisa kamu katakan?" goda Indra.
"Memangnya apa yang kamu inginkan? Medali?" kata Emma ketus.
Alih-alih tersinggung, Indra malah tertawa lepas. Kali ini, Emma menyadari, sorot mata lelaki itu berubah lembut saat menatapnya.
"Aduh, ke mana sopan santunku," kata Indra, lalu mengalihkan perhatiannya pada Bu Sundari, tersenyum manis dan mengulurkan tangan, "Saya Indra."
"Saya Sundari," katanya. Bu Sundari terlihat agak kebingungan, tapi akhirnya dia ikut mengulurkan tangan dan menjabat tangan Indra. Tapi Indra melakukan sesuatu yang mengejutkan Bu Sundari dan Emma.
Indra membungkuk dan membawa punggung tangan Bu Sundari ke keningnya. Disalami seseorang seperti Indra membuat Bu Sundari tersenyum tersipu-sipu.
Bu Sundari pengkhianat, geram Emma dalam hati.
"Saya mau mengajak Emma makan malam," kata Indra. "Bu Sundari mau ikut?"
"Oh tidak, tidak," kata Bu Sundari cepat sambil tersenyum lebar. Dia menatap ke arah Emma, lalu kembali menatap Indra, rupanya mengambil kesimpulan kalau kehadirannya tidak diperlukan. "Suami saya mungkin sudah menjemput di luar."
Indra masih tersenyum manis. "Kalau begitu kita bisa makan malam berempat?" Indra menawarkan.
"Aduh, jangan, biar saja Nak Emma dan Nak Indra makan malam berdua, pasti banyak yang harus dibicarakan." Bu Sundari lalu berpamitan, sementara Emma hanya bisa tersenyum lemah saat Bu Sundari mengecup kedua pipinya dan memintanya untuk 'bersenang-senang'.
Indra berdiri di samping Emma tanpa suara, kedua tangannya bertaut di belakang memperhatikan bu Sundara menapaki jalan berpaving yang menuju gerbang keluar resor yang kanan kirinya diapit halaman berumput jepang.
"Aku tidak tahu apa yang kamu katakan pada Bu Sundari," kata Indra dengan datar. Saat Emma menoleh dan menatap Indra, senyum lelaki itu sudah menghilang dan wjahnya tanpa ekspresi. "Tapi saat kalian berdua keluar dari pintu tadi, aku serasa sedang melihat dua anak kucing berniat menyerang singa menggunakan cakar-cakar mereka yang imut."
Emma membeku di tempatnya berdiri saat kesadaran menghantamnya.
Dia tahu.
Emma selalu mengganggap dirinya cerdik dan pintar. Tapi dia sedang menghadapi Indra Wiratama. Ini lelaki yang menjadi miliuner karena kemampuannya berbicara, membaca situasi, berstrategi dan berdiplomasi.
Mendadak Emma merasa ingin lari terbirit-birit, menghindari lelaki ini.
"Jadi," kata Indra sembari menoleh menatap Emma, mengabaikan wajah gadis itu yang kini pucat pasi. "Enaknya kita makan malam di mana?"
R'
KAMU SEDANG MEMBACA
Segala Masa Lalu Kita
RomanceEmma, Indra dan pernikahan mereka yang sarat bencana. - Unwilling wife, reluctant husband, a perfect recipe for disastrous marriage.