"Sirup markisa," kata Indra dengan suara teredam.
Emma sudah selesai melipat surat pengunduran diri dan kini sedang memasukkannya ke dalam amplop, tidak mendengar terlalu jelas apa yang dikatakan oleh Indra.
"Apa?" tanya gadis itu. Emma berdiri, meletakkan amplopnya meja lalu berdiri di samping meja, menghadap Indra.
Indra duduk di dipan, menatap Emma. Wajahnya terlihat antara kesal dan pasrah, seolah dia mengingat sesuatu yang hendak dia lupakan.
"Bantalmu beraroma seperti sirup markisa," kata Indra, nadanya menuduh. "Aku tidak bisa tiduran dengan tenang."
Emma tidak yakin harus bereaksi bagaimana, namun belum sempat dia menjawab, Indra sudah kembali bicara.
"Kamu beraroma seperti sirup markisa." Kali ini nada suara Indra jauh lebih lembut, dan sorot matanya terlihat seperti melamun.
Emma menatap Indra. "Kamu ini bicara apa sih?" tanyanya heran.
Indra hanya mengedik sedikit, lalu berdiri. Dia berjalan menuju Emma, dan dalam beberapa langkah, Indra kini berada di hadapan Emma, berdiri begitu dekat, sampai-sampai Emma bisa merasakan panas tubuh Indra menguar dari arah lelaki itu, mencium aroma parfumnya yang samar dan mendebarkan.
Lelaki itu lalu menunduk, matanya turun ke bibir Emma, lalu kembali menatap mata Emma.
Emma menelan ludah.
Ini untuk pertama kalinya Indra berada begini dekat dengannya, setelah kedekatan fisik mereka berbulan-bulan lalu. Emma bisa merasakan ujung-ujung jemari kakinya mengerut dalam sepatunya, bertanya-tanya apakah Indra akan menciumnya. Dilema berkecamuk dalam dirinya, dan otaknya mengirim aneka sinyal campur aduk, antara memerintahkan Emma menyerah pasrah, tapi sekaligus menyalakan alarm tanda bahaya yang memerintahkan Emma berlari menyelamatkan diri.
"Emma..." panggil Indra dengan suara parau. Napas Indra yang hangat membelai wajah Emma.
Emma masih ingat bagaimana lelaki ini menciumnya, dengan sabar dan ahli. Lidahnya membelai, bibirnya mengundang. Jenis keterampilan yang membutuhkan banyak latihan.
Tenggorokan Emma terasa kering tersumpal, lututnya melemas bagai puding. "Ya?" tanya Emma, gadis itu memajukan sedikit wajahnya.
Indra makin menunduk, lalu tangan kirinya menarik pegangan kopor Emma sementara tangan kanannya mengangkat tas kain Emma. "Ini saja barang bawaanmu?" tanya Indra, sembari menegakan tubuh. Suaranya terdengar dingin dan formal.
Udara di sekitar mereka yang sebelumnya terasa dialiri listrik langsung melempem seketika, dan dalam hati, Emma merutuki ketololannya.
"Ya, itu saja," kata Emma, berharap suaranya terdengar datar dan meyakinkan, karena hingga kini dadanya masih berdegup kencang.
"Bagaimana dengan suratnya?" Indra menunjuk ke dua pucuk surat yang tertumpuk rapi di meja.
"Besok pagi Bu Sundari yang akan datang dan menyerahkannya ke HRD, sebagai syarat saja. Resminya, aku sudah mengundurkan diri per malam ini."
"Aku memarkir mobilku di luar," kata Indra, sembari berlalu.
"Aku akan menyusul, ada yang perlu kubereskan."
Emma menunggu hingga suara langkah Indra tak lagi terdengar, sebelum melayangkan pandangnya ke seluruh kamar.
Emma datang ke tempat ini dua tahun yang lalu, hanya membawa satu koper dan satu tas kain, persis seperti yang Emma gunakan malam ini untuk pergi dari sini.
Tante Santy waktu itu masih bekerja director of sales di resor ini, ketika dengan putus asa Emma menghubungi beliau. "Aku ingin menenangkan diri," kata Emma ketika itu. "Kalau di tempat Tante ada
...""Hanya ada posisi sebagai housekeeper, tentu kamu tidak akan mau—"
"Aku mau," kata Emma cepat, tanpa berpikir.
Baik Emma maupun Tante Santy mengira proses menenangkan diri Emma hanya akan berlangsung beberapa minggu. Bekerja sebagai housekeeper sangat melelahkan, jenis pekerjaan yang dibutuhkan Emma sebagai pengalih perhatian. Dan tinggal di tempat yang sejuk dan sunyi membuatnya jadi pekerjaan paling sempurna. Minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Emma berpindah dari divisi housekeeping ke divisi event, lalu terakhir bekerja di dapur. Tante Santy sendiri sudah pindah bekerja ke Lombok di tahun pertama Emma bekerja di sini.
Emma berencana akan keluar dalam dua atau tiga bulan mendatang, namun takdir membawanya di titik ini.
Dua tahun hidupnya, diakhiri dengan terburu-buru, dikemas dalam waktu satu jam.
Emma menghela napas. Que sera sera, pikirnya pahit.
Emma berusaha tidak memikirkan apa yang akan dipikirkan mendiang kakak dan ibunya. Dia berusaha tidak memikirkan apa yang akan dipikirkan Ayah dan Mama. Dia hanya akan memfokuskan pikiran dan tenaganya untuk dia dan bayinya.
Emma kembali menatap tembok-tembok kamar, lalu langit-langitnya, sebelum mematikan lampu kamar itu, untuk yang terakhir kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segala Masa Lalu Kita
RomanceEmma, Indra dan pernikahan mereka yang sarat bencana. - Unwilling wife, reluctant husband, a perfect recipe for disastrous marriage.