Indra datang ke kantor dua jam setelah jam kerja kantor dimulai.
Sudah hampir seminggu ini, yang Indra perhatikan, Emma kurang tidur. Dia terlihat kelelahan dan kuyu. Wajah, tangan dan kakinya bengkak. Bukan gendut, tapi bengkak, seolah terisi ai. Dan entah sejak kapan, Emma meminum setidaknya delapan butir obat aneka jenis dan warna, tiga kali sehari. Emma bahkan membawa wadah obat saat mereka makan siang di luar, dan selalu meminumnya di jam tertentu. Tiap kali Indra bertanya soal obat-obatan yang dikonsumsi Emma, gadis itu selalu mengatakan kalau obat-obat itu hanyalah vitamin yang diresepkan Dokter Yunus.
Indra yakin Emma , tapi tak tahu bagaimana cara membuktikannya. Indra berencana mengecek nama obat-obatan yang dikonsumsi Emma, tapi Emma selalu menyimpannya dengan rapi dan Indra kesulitan menemukannya.
Hari ini, pukul tiga pagi itu, Emma membangunkan Indra, mengeluh jantungnya berdebar kencang dan pusing teramat menyiksa, yang sakitnya sampai ke mata. Indra menempelkan punggung tangan ke dahi Emma, namun suhu tubuh Emma terasa normal.
Indra mengajak Emma untuk pergi ke rumah sakit saat itu juga, tapi Emma menolak. Dia hanya meminta Indra mengambilkan segelas air putih dan pil berwarna merah muda, yang ternyata diletakkan Emma di laci yang terkunci di nakas di sisi tempat tidurnya. Botol-botol pil itu tidak ada yang memiliki merk, tapi Indra bisa melihat sisa lem bekas labelnya terkelupas.
Jelas bagi Indra, bahwa Emma tak ingin ada yang tahu obat apa yang diminumnya. Kecurigaan menggerogoti Indra, namun keadaan Emma yang terlihat jelas menahan sakit lebih membuatnya khawatir.
Setelah menemukan pil yang diminta Emma, Indra keluar sebentar untuk mengambil segelas air putih. Indra kemudian kembali memasuki kamar, lalu membantu Emma duduk. Indra membiarkan Emma bersandar di dadanya. Mata gadis itu terpejam, sesekali wajahnya mengerut kesakitan. Indra menempelkan pil di bibir Emma, berbisik di telinga Emma agar dia membuka mulut. Setelah Emma menelan pilnya, Indra mengambil gelas air minum dan membiarkan Emma meneguknya sedikit demi sedikit.
Indra membiarkan Emma kembali berbaring, dan menarik selimut hingga menutupi tubuh gadis itu. Indra memutuskan untuk meneruskan pekerjaannya sambil menunggui Emma, dia lalu mengambil laptop dan menarik kursi berlengan ke sisi ranjang.
Wajah Emma masih terlihat mengerut kesakitan, dan baru bisa tertidur pulas saat langit di ufuk timur terlihat kemerahan.
Indra memutuskan untuk menunda keberangkatannya ke kantor. Dia menunggu sampai Emma terbangun dari tidurnya, dan membelikan bubur ayam untuk sarapan. Selesai sarapan, Emma kembali minum pil merah muda yang semalam, serta setidaknya enam pil lain.
Emma berkali-kali meyakinkan Indra bahwa sudah mendingan, tapi Indra tak menggubrisnya. Baru setelah Indra bisa melihat wajah Emma kembali berwarna dan tidak terlalu pucat, dia bersiap untuk berangkat ke kantor.
"Aku akan pulang cepat, aku hanya perlu bertemu dengan salah satu klien di kantor sebelum makan siang," kata Indra, menghadap cermin sembari memakai dasi. Setelah mengenakan jas, dia mengecup kening Emma. "Telepon aku kalau perlu apa-apa, oke?"
Emma tersenyum kecil dan mengangguk.
***
Pukul sepuluh siang, Astari dan Banu, dua wakil dari perusahaan yang sudah lama menjadi menjadi klien Indra datang menemui Indra di kantornya. Mereka berdiskusi dan mencocokkan data hingga hampir satu jam lamanya. Pukul sebelas, Indra menelepon OB untuk membelikan kopi dingin dan makanan kecil dari salah satu coffee shop yang ada di lantai dasar gedung. Pukul setengah sebelas malam, pertemuan mereka akhirnya berakhir. Sebelum berpisah, Indra, Astari dan Banu menikmati minuman dan makanan yang sudah tersedia sembari mengobrol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segala Masa Lalu Kita
RomanceEmma, Indra dan pernikahan mereka yang sarat bencana. - Unwilling wife, reluctant husband, a perfect recipe for disastrous marriage.