4

37.3K 4K 254
                                    


Emma membenahi letak kerah blazernya sebelum mengetuk pintu suite sebanyak tiga kali.

Emma menunduk, menatap sepatu pantofel hitamnya. Dia memindahkan binder dokumen tebal berisi contok gambar dekor dari tangan kiri ke tangan kanan, lalu memijat bahu kanannya yang terasa pegal.

Seharusnya Emma berada di kantor Pak Jamil sekarang ini berdiskusi dengan beliau mengenai pesta kebun yang akan dilaksanakan dua minggu lagi di resor. Namun dalam perjalanan menemui Pak Jamil, Emma ditelepon oleh teman satu divisinya, meminta Emma pergi ke presidental suite sekarang juga.

"Aku harus menemui Pak Jamil," kilah Emma, sedikit bingung karena biasanya dia tidak pernah berurusan langsung dengan tamu hotel seperti ini, kecuali tamu tersebut menyelenggarakan acara khusus yang menyangkut dengan pekerjaan Emma.

"Tadi Pak Tatang yang telepon sendiri ke sini," kata Yanti. Pak Tatang merupakan general manager resor dan Pak Tatang tidak bakal turun tangan kalau bukan masalah penting.

Emma menghela napas pasrah, dan menanyakan hal yang sudah dia ketahui jawabannya. "Siapa tamu yang menginap di presidential suite?"

"Indra Wiratama."

Sambil memijat pangkal hidungnya, Emma berkata, "Pak Tatang bilang kenapa Indra Wiratama minta bertemu denganku pukul delapan pagi begini?"

"Tidak," kata Yanti, terdiam sejenak. "Tapi Indra Wiratama sudah tiga malam menginap di sini sejak.... kejadian itu. Kata Pak Tatang, Indra Wiratama akan check out siang ini dan dia minta kamu menemuinya sebelum pulang."

Pintu kamar hotel di buka, dan Indra berdiri di ambang pintu.

Lelaki itu mengenakan celana hitam resmi, jam tangan, ikat pinggang kulit dengan gesper berwarna tembaga dan kaus singlet. Bahunya terlilit perban namun itu malah membuatnya makin terlihat kuat dan hati Emma serasa lumer melihatnya.

Kalau ada orang yang mengenakan kaus singlet namun terlihat seperti sanggup menaklukan dunia, mungkin Indra Wiratama-lah orangnya.

Senyum Indra melengkung tipis. "Emma," katanya sambil mengulurkan tangan.

Sedikit gelagapan, Emma memindahkan binder dokumen dari tangan kanan ke tangan kirinya untuk menjabat tangan Indra. Sekilas, Emma bisa melihat rahang lelaki di hadapannya itu mengeras, namun hilang lagi sehingga Emma mengira dia salah lihat.

"Pak Indra," kata Emma, sembari mengayunkan tangan Indra dua kali.

Indra kembali tersenyum, kali ini lebih lebar dari sebelumnya membuat lesung pipitnya melekuk dalam.

Emma merasa dadanya berdebur kencang.

Please, jangan bilang 'panggil Indra' saja, pinta Emma dalam hati. Menurut pengalaman Emma, hanya tamu hidung genit yang minta dipanggil nama, tak peduli mereka memang pantas jadi bapak-bapak atau malah kakek-kakek.

Indra membukakan pintu kamar lebih lebar, dan setelah Emma masuk, lelaki itu menutup pintu. Dengan gerakan halus, nyaris tidak Emma sadari, binder dokumen berpindah dari tangan Emma ke tangan Indra.

"Pak—" Emma protes saat Indra meletakkan binder di meja kopi.

Indra meletakkan tangannya ke bagian sempit punggung Emma, membimbingnya ke arah tempat tidur empuk berseprai putih yang terlihat seperti baru dibereskan. "Aku butuh bantuanmu," kata Indra.

Emma berusaha mengabaikan panas dari telapak pria itu yang menembus blazer dan kemeja yang dia kenakan, mengabaikan kenyataan bahwa pria itu nyaris bertelanjang dada. Emma memusatkan perhatiannya ke wajah Indra yang bersih dan tampan.

Segala Masa Lalu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang