1

109K 5.3K 113
                                    


Setelah satu jam berjalan, rombongan peserta lintas alam berhenti di tanah lapang di dalam hutan untuk beristirahat. Puluhan wajah yang biasanya terkena AC sepanjang hari dan menghirup udara Jakarta terlihat agak kelehahan namun sedikit berseri. Mereka serentak terpisah menjadi grup-grup kecil, mencari tempat untuk duduk, sambil mengobrol.

Emma dan lima pegawai hotel yang menjadi pemandu lintas alam kali ini dengan sigap membuka kotak-kotak cooler yang sudah lebih dahulu ditempatkan di sana, dan membuka meja-meja portabel.

Tak sampai sepuluh menit, barisan lemper panggang, éclair, lumpia rebung dan Opera potong berjajar rapi, ditemani gelas-gelas kertas berisi teh manis hangat dan berbotol-botol air mineral.

Setelah mempersilakan peserta lintas alam untuk menikmati coffee break mereka, Emma mundur ke dekat cooler dan duduk di salah satu pohon mati yang dahannya rebah ke tanah. Kali ini giliran Emma untuk menjaga meja sementara teman-temannya beristirahat. Tugasnya mudah saja, hanya memastikan makanan dan minuman di meja tetap ada dalam jumlah mencukupi.

Peserta lintas alam kali ini merupakan pegawai-pegawai salah satu firma hukum termahal dan ternama Jakarta yang sekaligus menjadi tamu hotel mereka selama dua hari. Sejujurnya, Emma tidak tahu seternama apa firma hukum mereka, dia sendiri tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya. Tapi Emma tidak menyangsikan soal termahal, karena apa pun yang mereka lakukan, pasti menghasilkan banyak uang. Semua peserta menginap di kamar suite, VVIP dan VIP. Dan saat mereka datang kemarin sore, menunggu di tempatkan di kamar, lobi hotel seakan disulap menjadi butik eksklusif. Kopor-kopor rancangan desainer bermonogram berjejer. Para wanita menenteng tas hitam sederhana, yang saking sederhananya Emma yakin harganya luar biasa mahal, sementara yang pria mengenakan arloji-arloji mewah berharga sama mahalnya.

Emma selalu menyadari tempat kerjanya merupakan hotel mewah, dan dia tidak pernah norak melihat orang kaya mengenakan barang bagus. Tapi kemarin, baik Emma dan para pegawai lain dibuat takjub oleh betapa banyaknya orang berduit yang bisa dihasilkan oleh satu kantor saja.

Emma melirik arlojinya, yang kalau dipikir-pikir mungkin seharga satu kali minum kopi orang-orang ini, menyadari bahwa dua puluh menit lagi perjalanan akan kembali dimulai. Dalam sepuluh menit, dia dan teman-temannya harus membereskan meja.

Emma melayangkan pandangan ke peserta lintas alam, memeriksa barangkali ada yang membutuhkan bantuan atau memanggilnya. Mereka semua terlihat asyik mengobrol dengan sesamanya, duduk di rumput atau duduk di dahan mati seperti dirinya.

Hutan yang mereka akan jelajahi sebagai lintas alam tidak sepenuhnya bisa disebut hutan. Area seluas 15 ribu meter persegi tersebut lebih cocok disebut sebagai 'taman belakang' resor. Konon, pemilik resor membeli tanah seluas puluhan ribu meter persegi, namun hanya satu hektar yang dibangun menjadi resor. Sebagai fasilitas tambahan, pemilik resor juga membangun lapangan berkuda, padang golf dan kebun strawberry. Sisanya, masih berupa hutan yang meski kelihatannya liar namun terpelihara dan terjaga degan baik.

Dari sekian banyak peserta yang duduk berkelompok, hanya satu orang saja yang berdiri sendirian.

Pria itu menyandarkan satu bahu di salah satu pohon. Ekspresi wajah pria itu tenang, nyaris dingin. Satu tangannya masuk ke dalam kantong celana trainingnya seolah-olah dia sedang mengenakan setelan jas resmi alih-alih setelan kaus dan celana warna kuning-biru yang , sementara satu tangannya mendekatkan gelas kertas berisi teh hangat ke bibir, berlama-lama di sana.

Emma bisa mengenali kesepian saat sedang melihatnya. Bekerja hampir setahun di divisi Event di resor ini, Emma cukup sering melihat orang-orang yang mengasingkan diri di tengah family day, company gathering atau outbond. Orang-orang tersebut punya satu kesamaan, mereka sama-sama terlihat kesepian, merana, dan patah hati.

Tapi lelaki ini tidak.

Lelaki ini tidak menyendiri karena dirundung kegalauan dan bermaksud menjilati hatinya yang terluka. Dia hanya terlihat.... bosan.

Peserta lain memperlakukan pria ini dengan campuran antara segan dan kagum, menjaga jarak tapi sekaligus ingin meninggalkan kesan baik. Emma menyimpulkan bahwa lelaki itu memiliki posisi yang cukup penting di kantor meski usianya mungkin baru menginjak awal tiga puluhan. Garis wajahnya terlihat tegas dan serius. Perawakannya itu langsing dan tegap, dengan bahu bidang dan tangan kekar namun tak terlalu berotot. Rambutnya tebal dan hitam, terpangkas rapi di bagian tengah tengkuk, bagian bawahnya sesekali mengenai kerah kaus polonya.

Emma menelengkan kepala, diam-diam membayangkan dirinya bersandar di bahu pria itu sembari memperhatikan tengkuknya. Mungkin sesekali sambil menyusuri rambutnya yang tebal menggunakan jemarinya....

Emma tertegun sejenak, lalu meringis.

Dia baru saja melamunkan bermesra-mesraan dengan tamu hotel, di siang bolong.

Semenjak bekerja di resor mewah yang terpencil ini, kehidupan sosial Emma nyaris non eksisten, sementara kehidupan asmaranya sepunah dinosaurus.

Tapi bahkan semenyedihkan apa pun kehidupan pribadinya, dia tak pernah melantur seperti ini sebelumnya.

Seakan bisa membaca pikiran Emma, lelaki itu menoleh ke arahnya.

Emma menelan ludah. Ekspresi lelaki itu terlihat panik bercampur tegang, untuk sejenak, Emma benar-benar mengira pria bisa membaca pikirannya. Dari raut wajahnya, dia kelihatannya tidak terlalu mengapresiasi imajinasi mesum Emma.

Emma tahu itu konyol dan mustahil.

"Jangan bergerak!" hardik lelaki itu, satu tangannya terulur ke arah Emma. Udara mendadak terasa berat dan suasana istirahat yang tadinya ramai berubah hening. Semua kepala meoleh ke arah Emma.

Emma bisa merasakan pipinya panas. Dia malu dan jengah dijadikan bahan tontonan. Secara refleks, Emma mundur.

Wajah lelaki itu kini memucat, dan di detik berikutnya beberapa hal terjadi bersamaan.

Lelaki itu berlari ke arahnya sementara eserta lintas alam dan teman-teman kerja Emma berteriak bersamaan.

Emma menatap dengan sorot ngeri saat lelaki itu tidak memeperlambat larinya. Dia malah merentangkan tangan, merengkuh Emma dalam pelukannya, satu tangan di bagian sempit punggungnya, satu tangan di bagian belakang kepalanya, lalu menjatuhkan diri ke tanah sambil membawa Emma.

Udara serasa terhentak dari paru-paru Emma, namun kepalanya tertahan tangan lelaki itu hingga benturannya tak terlalu terasa.

"Apa....?" Emma berusaha bertanya.

Emma bisa merasakan lelaki itu menyurukkan kepala di lekuk lehernya, seakan mereka berdua sepasang kekasih yang berada di pesawat yang sedang menukik tajam ke bumi, bersiap menghadapi tumbukan, tahu persis mereka tak akan selamat.

Pelukan lelaki itu terasa putus asa, final, namun anehnya.... menenangkan.

Sesuatu yang terdengar berat dan basah jatuh di punggung lelaki itu, dan Emma memanjangkan lehernya untuk melihat.

Mata kecil yang mengilap balik menatap Emma.

Ular itu menegakkan lehernya dan membentuk huruf S, lalu mematuk bahu lelaki yang kini sedang memeluknya lalu dengan gesit melata pergi.

Emma bisa mendengar lelaki ini menghembuskan napas, dan tubuhnya mendadak berat menimpa Emma, sementara pelukannya mengendur.

Perasaan takut membuat sekujur tubuh Emma kaku untuk sementara. Ketika kemudian dia sadar, Emma memeluk lelaki itu erat-erat.

"Jangan, please, jangan..." bisik Emma. Dia membenamkan jemarinya di rambut lelaki itu. "Jangan... jangan..." bisiknya parau. Air mata mulai meleleh di pipi Emma.

Ketika orang-orang datang hendak mengangkat tubuh lelaki itu, mereka harus membujuk Emma untuk melepaskan pelukannya.

Segala Masa Lalu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang