9

28.8K 3.7K 102
                                    




Andai waktu bisa diulang, Emma berharap dia tidak menjawab 'terserah' saat Indra bertanya mereka makan malam di mana.

Ralat.

Andai waktu bisa diulang, Emma berharap dia tidak pernah bertemu dengan Indra.

Emma berhenti mendadak saat dia menyadari Indra hendak membawanya ke mana.

"Aku tidak bisa makan di sini," kata Emma. Mereka hanya berada beberapa puluh meter dari La Pluie, restauran Perancis yang ada di area resort. Tiga sisi bangunan tinggi itu terdiri dari jendela-jendela kaca lebar berbingkai besi hitam. Dari luar, kandelar-kandelar yang elegan terlihat memancarkan sinar kuning hangat. Topiari-topiari yang terpangkas rapi berjajar di teras restoran. Pelayan berbaju resmi hilir mudik dengan satu tangan di belakang tubuh dan tangan satunya membawa nampan.

Indra menatap Emma dengan pandangan bertanya, "Memangnya kenapa?"

"Aku bekerja di dapur!" seru Emma, berharap itu cukup membuat Indra mengerti.

"Aku yakin tidak ada larangan bagi pekerja dapur untuk makan di sini," kata Indra. Lelaki itu menggamit lengan Emma, dan setengah menariknya maju. "Lagi pula, kudengar fettucini saus truffle di sini enak sekali."

***

Indra memilih duduk di salah satu meja dekat jendela, dan meski pelayan yang melayani mereka cukup sopan untuk tidak mengatakan apa-apa melihat kehadiran Emma, Emma bisa melihat gadis muda itu menatapnya, lalu menatap Indra dengan tatapan penasaran setengah mati.

Emma membiarkan Indra memesan makan malam mereka. Dia bahkan tak repot-repot membuka buku menu, dalam usahanya memboikot makan malam ini.

Setelah pesanan mereka dicatat dan pelayan berlalu dari meja mereka, Indra menatap Emma. "Lihat kan? Tak ada petir menyambarmu hanya karena kamu makan di sini."

Emma menutupi wajahnya dengan satu tangan. "Segera setelah pelayan itu masuk dapur, gosip tentang aku makan denganmu di La Pluie pasti bakal menyebar. Besok, semua orang akan tahu soal kejadian malam ini."

Indra menyunggingkan senyum miring. "Untungnya, besok kamu sudah tidak bekerja di sini."

Emma menurunkan tangan dari wajah, alisnya bertaut curiga. "Kenapa?"

Indra mengecek arlojinya, terlihat menghitung waktu. "Kalau semua lancar, dan kita bisa kembali ke Jakarta setelah makan malam, paling lambat besok jam sembilan pagi kita sudah jadi suami istri."

Mulut Emma ternganga, matanya melotot. "Kita sudah jadi apa??"

Indra mengabaikan pekikan Emma. "Dengan asumsi setelah menikah kamu bersedia tinggal denganku di Jakarta, kamu mungkin harus menyerahkan surat pengunduran dirimu sekarang, atau besok pagi. Tentu saja, tidak masalah buatku kalau setelah menikah kamu tetap ingin tinggal di sini dan meneruskan kariermu." Indra tersenyum penuh arti sebelum melanjutkan kalimatnya, "Walaupun aku tidak yakin apakah memetik buncis atau mengiris cabai bisa disebut sebagai karier."

Ratusan hal berkecamuk di benak Emma, hingga dia tidak menyadari ejekan tersirat di kalimat terakhir Indra. Gadis itu menatap piring putih di hadapannya dengan tatapan kosong.

Sejak tahu dirinya hamil, Emma sudah putar otak mencari jalan keluar. Emma tahu saat kandungannya membesar, dia tidak bisa tetap bekerja. Mengingat sejarah kehamilan mendiang ibu dan kakaknya, Emma bertekad dia harus tinggal di kota besar dan memeriksakan diri pada dokter kandungan subspesialis perinatalogi. Untuk itu, bulan-bulan belakangan ini dia menabung seperti orang gila. Emma sudah gemar menabung sejak kecil, namun kini dia tidak sekadar gemar, Emma terobsesi. Emma menekan pengeluaran dan menjual barang-barang yang dia miliki. TV LCD yang ada di kamar mess-nya, laptop, dan ponsel, semuanya Emma jual demi menambah tabungan. Kini dia hanya menggunakan ponsel Nokia berlayar monokrom dan tinggal di kamar mess yang sepi tanpa hiburan.

Segala Masa Lalu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang