Dani mungkin hanya berumur beberapa tahun lebih tua dari Indra. Namun perawakannya yang kurus kering (sampai-sampai tulang pipinya menonjol, dan kulit di wajahnya terkesan kencang dan tertarik) membuatnya terlihat jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya.
Saking kurusnya, kelopak mata Dani terlihat menonjol dan memiliki sorot kekagetan yang permanen. Indra bisa bersimpati pada kakak iparnya itu. Ini adalah lelaki melihat istrinya digerogoti kematian selama tujuh bulan, sebelum akhirnya menguburkannya.
Kalau ingat itu, rasanya Indra ingin segera pulang dan memeluk Emma.
Setelah Tina mengantar Dani ke kantor Indra, Indra mengajaknya ke sofa tamu yang tak sampai lima belas menit sebelumnya diduduki oleh Astari dan Banu.
Indra membereskan sisa makanan yang masih ada di meja, dan membawanya ke konter minibar. "Maaf, habis ada tamu," kata Indra. "Pak Dani ingin minum sesuatu?"
Dani terlihat sedang mengedarkan pandangannya ke sudut-sudut kantor Indra, dan menatap Indra yang sedang membuka kulkas mini. "Kalau ada, air mineral dingin, terima kasih."
Indra membawa dua botol mineral dingin ke meja. Dani langsung mengambil satu, dan meneguk isinya hingga tinggal setengah. "Sori, dari Cengkareng saya langsung ke sini," kata Dani, meringis kecil.
"Tak masalah," kata Indra, tersenyum. Pikiran Indra masih bercabang, antara pulang dan memastikan tahu keadaan Emma, dan penasaran dengan apa yang ingin dibicarakan Dani. Indra memutuskan untuk mengenyampingkan soal Emma untuk sementara , dan berkonsentrasi dengan perbincangannya dengan Dani.
"Saya kira Pak Dani baru akan datang minggu depan? Tina, yang menerima kehadiran Pak Dani waktu itu, bilang kalau Bapak akan kembali dalam dua minggu."
"Ya, saya sedang dalam proser perpindahan kantor, dari Jayapura ke Tangerang. Tadinya saya kira akan makan waktu lebih lama, ternyata malah selesai dalam beberapa hari. Makanya saya bisa datang sekarang dan memutuskan untuk menemui Anda," kata Banu.
"Menemui saya soal apa?"
Dani menggunakan telunjuknya untuk menggaruk alis. "Ayah menelepon saya beberapa minggu lalu, mengabarkan kalau beliau ada di Indonesia. Sayangnya saya sedang punya banyak kesibukan, dan beliau hanya pulang beberapa hari. Ayah bilang, tujuan beliau menelepon sekaligus mengundang saya ke pesta pernikahan Emma."
Indra terdiam beberapa jenak, dia tak punya bayangan hendak ke mana arah pembicaraan Dani.
"Lagi pula," Dani menambahkan, "Emma pasti tak akan menyukai kehadiran saya. Pak Indra pasti tahu mengapa kan?"
Indra mengangguk, tapi tak bicara apa-apa. Memangnya apa yang bisa dia katakan pada Dani?
Tentu saya tahu mengapa. Menurut Emma, Anda terlalu egois untuk melepas kepergian Amelia, hingga kakaknya mengalami penderitaan yang tak perlu dan koma selama tujuh bulan.
"Saya mengerti kalau Emma masih kecewa pada sikap saya dua tahun lalu, tapi saya tak pernah menyesalinya," kata Dani. Kilatan kesedihan tampak begiru segar di wajah Dani, hingga Indra harus mengalihkan perhatian dan berpura-pura tertarik pada serpihan tisu yang menempel di celananya. "Setidaknya saya dan Amel sudah berusaha sekuat tenaga."
"Saya mengerti," kata Indra. "Dan saya juga turut berduka cita akan kematian Amel."
Dani seolah mengabaikan kata-kata Indra, dia kembali berkata, "Mungkin Pak Indra bertanya mengapa saya mencari-cari Pak Indra, dan mengapa saya menemui Pak Indra di sini. Saya mendapat nama Pak Indra dari foto undangan yang dikirimkan Ayah, dari situ saya mendapat alamat kantor ini. Saya ingin membicarakan sesuatu dengan pak Indra, tapi saya tak ingin Emma tahu soal kehadiran saya."
"Karena Pak Dani takut Emma masih kecewa dengan Pak Dani, atau menolak Pak Dani, kalau Bapak menemui kami di rumah?"
Dani menggeleng, "Saya tak berniat menemui Emma. Emma mungkin tak akan memaafkan saya seumur hidup dan saya bisa memahaminya. Saya hanya bermaksud menemui Pak Indra."
"Untuk apa?" tanya Indra, kini tak bisa menutupi rasa herannya.
"Jangan biarkan Emma hamil."
Indra nyaris tak mempercayai pendengarannya. "Apa?"
"Angkat anak... adopsi. Itulah mengapa saya cepat-cepat menemui Pak Indra... sebelum terlambat. Sebelum—" Dani menghentikan ucapannya, rupanya melihat perubahan drastis di wajah Indra. Dani tersenyum sedih. "Ah, rupanya saya sudah terlambat... Emma sudah hamil ya..." kata Dani, suaranya pelan dan penuh sesal.
"Ya... sudah tujuh bulan."
Dani mengangguk. "Kalau begitu, saya hanya meminta Pak Indra untuk menjaga Emma baik-baik, dengan teliti. Pastikan dia selalu ke dokter kandungan. Tidak, tidak, bukan hanya dokter kandungan, tapi dokter—"
"Subspesialis fetomaternal?" tebak Indra. Sedikit demi sedikit, Indra mulai bisa menghubungkan fakta-fakta yang selama ini mengganggunya, meski belum sepenuhnya ia mengerti.
"Jangan sampai Pak Indra merasakan apa yang dirasakan Ayah dan saya.... Kehilangan istri itu rasanya seperti ditusuk pisau berkarat tepat di jantung, lalu gagang pisaunya diputar. Sakit dan perihnya luar biasa, tak ada tandingan."
"Pak Dani mau bilang... kalau Amel dan ibunya meninggal untuk karena sebab yang sama?"
"Ibunya Amel dan Emma meninggal saat melahirkan Emma... Amel meninggal saat sedang hamil delapan bulan. Emma tidak cerita?"
Kepala Indra rasanya mau meledak, mendapat informasi yang menerjang seperti air bah begini. Kini bayangan Emma dini hari tadi, merintih dalam dekapannya, terpancang jelas di benak Indra. "Emma cerita soal Kak Amel yang koma selama tujuh bulan, tapi dia tidak cerita soal penyebabnya."
"Amel dan ibunya mengalami komplikasi kehamilan yang disebut preeklamsia. Tidak ada sebab jelas mengapa preeklamsia terjadi, tapi biasanya, terjadi pada kehamilan anak pertama, saat usia ibu hamil terlalu muda atau terlalu tua. Selain itu..." Dani tak meneruskan kalimatnya, dia menatap mata Indra.
"Selain itu?" kejar Indra
"Selain itu, kalau di keluarga ada sejarah yang menderita preeklamsia, maka kemungkinan besar seseorang juga akan mengalami preeklamsia."
"Maksud Pak Dani, ada kemungkinan Emma mengalami kondisi yang serupa dengan mendiang ibunya dan mendiang Amel."
Dani mengangguk.
Indra sudah buka mulut untuk bicara, tapi ponsel di jasnyaa mendadak berbunyi nyaris.
Pria itu mengambil ponsel, dengan maksud meminta siapa pun yang meneleponnya untuk menghubunginya lagi nanti. Namun begitu dia mengecek layar ponsel, nomor Emma-lah yang tertera di sana.
"Emma?" panggil Indra dengan suara yang lebih keras dari yang dia maksud.
Dari tempatnya duduk, Dani beringsut maju, tertarik mendengarkan apa yang hendak dikatakan Indra.
"Pak Indra?" sahut Erwin. "Sesuatu terjadi pada Bu Emma."
Indra bahkan terlalu panik untuk bertanya mengapa Erwin bisa memegang ponsel Emma. "Baik, saya pulang sekarang," kata Indra, dengan rahang mengatup rapat.
"Bu Emma sudah ada di rumah sakit, baru saja masuk IGD. Di RSIA Adiratna. Kami tunggu sekarang juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Segala Masa Lalu Kita
RomanceEmma, Indra dan pernikahan mereka yang sarat bencana. - Unwilling wife, reluctant husband, a perfect recipe for disastrous marriage.