3

40.7K 4.7K 200
                                    




Emma duduk di sofa ruang tunggu rumah sakit dengan perasaan tidak karuan. Emma melirik pergelangan tangan, bermaksud mengecek arloji, hanya untuk mendapati kalau dia lupa mengenakannya.

Sekarang sudah pukul tiga sore, sudah enam jam berlalu sejak Emma terakhir kali melihat Indra. Emma melihat bagaimana lelaki itu ditandu, menuju ambulans yang sudah menunggu di dekat pintu belakang resor.

Emma harus menahan diri untuk tidak memohon diizinkan ikut ke rumah sakit. Acara lintas alam bubar seketika. Tak ada yang mau meneruskan berjalan santai melintasi hutan setelah kejadian tadi. Beberapa rekannya membimbing para peserta lintas alam kembali ke resor sementara Emma memilih tinggal untuk membereskan barang-barang yang tertinggal, dibantu Arsil.

"Menurutmu dia akan selamat?" tanya Arsil saat mereka sedang memasukkan kembali kue-kue dan gelas-gelas kertas ke dalam kardus.

Pikiran Emma masih tumpul hingga dia hanya bisa  menatap Arsil dengan kosong. "Siapa?" tanya gadis itu.

"Indra Wiratama, orang yang baru saja tergigit ular," kata Arsil. Arsil selalu berusaha mengisi keheningan dengan mengobrol, yang menjadikannya sebagai pegawai teladan di divisi Event dan ice breaker handal di setiap acara. Untuk pertama kali sepanjang Emma mengenal Arsil, Emma berharap rekannya itu bisa tutup mulut.

"Kamu lihat tadi ularnya seperti apa?" tanya Arsil lagi.

Emma merasa tenggorokannya kering, bayangan ular dengan leher tegak dan mata hitam kecil kembali berkelebat di ingatannya. "Ya," kata Emma. "Salah seorang perawat juga menanyakan bentuk dan ciri-ciri ularnya."

"Hmm ya... mungkin untuk dicarikan penawar yang cocok. Semoga nasibnya tidak seperti tetanggaku, lah."

Meski sudah menahan diri, Emma tak tahan untuk tak bertanya, "Kenapa tetanggamu?"

"Digigit ular."

"Terus?"

"Mati," kata Arsil, mengangkat bahu, sembari menumpuk kardus makanan terakhir di atas meja lipat.

Emma merasa perutnya bergolak. Sembari menekap mulut, dia berlari ke salah satu pohon dan dengan satu tangan bertumpu di batang pohon, Emma memuntahkan sarapannya.

Emma tak ingat bagaimana dia pulang, mandi dan kembali bekerja. Yang dia ingat, pukul dua siang Pak Lutfi, asisten manajer hotel, memanggilnya ke kantor, memintanya membawakan buket mewah yang terdiri dari mawar putih dan aster kuning, lalu mengajaknya ke rumah sakit, menengok Indra Wiratama.

"Emma?" panggil Pak Lutfi, membuat Emma tersadar dari lamunannya.

Gadis itu menoleh ke arah atasannya yang duduk sofa seberangnya. "Ya Pak?"

"Sudah masuk jam besuk, kita naik sekarang?"

Emma menganggak dengan berat hati, mengambil buket bunga dari atas meja kaca dan berdiri mengikuti langkah Pak Imran.

Kakinya seakan menggunakan sepatu dari besi, setiap langkahnya diseret enggan.

"Saya harus bilang apa, Pak?" kata Emma setelah mereka berdua ada di dalam lift.

Pak Lutfi membenahi letak kacamatanya, tanpa sadar, dia melap titik-titik keringat tipis yang bermunculan di dahinya.

Seketika itu juga, Emma menyadari bahwa Pak Lutfi pun sama enggannya dengan dirinya berada di sini. Membesuk Indra Wiratama merupakan hal yang menakutkan yang membuat Pak Lufti gelisah atau ketakutan, atau malah keduanya. Mungkin alasan Pak Lutfi ada di sini adalah karena beliau mengambil lidi paling pendek atau karena dia kalau suit.

Kenyataan itu makin membuat hati Emma mengkerut.

"Pak Indra merupakan junior partner di GHR. Singkatan dari Gandaatmaja, Hardigaluh dan Rekan. GHR adalah salah satu firma hukut terkuat dan paling berpengaruh di Jakarta" kata Pak Lufti, memulai penjelasannya, mengulangi yang pernah Emma dengar soal sekumpulan orang berbaju dan bertas mewah yang sejak kemarin memenuhi resor.

Segala Masa Lalu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang