Tidur Emma tidak tenang.
Suara AC berdengung lembut, mengembuskan udara sejuk ke seluruh kamar luas itu. Ranjang yang dia tiduri empuk, bantalnya seringan kapas, dan seprai serta duvetnya lembut, dingin dan nyaman.
Tapi Emma tidur dengan gelisah.
Dia terlalu mengantuk dan terlalu lelah untuk tetap terjaga, namun setiap kali tertidur, tak sampai setengah jam dia kembali terbangun, matanya nyalang menatap jam digital di nakas, atau menatap kosong langit-langit.
Ketika Indra menceritakan soal ibunya, Emma hanya bisa menunduk, dengan airmata meleleh pelan mengaliri pipinya. Dia berjuang menahan isak, agar Indra tidak menyadari tangisannya. Emma tetap menunduk, ketika Indra berdiri, hingga bangku yang dia duduki terdorong ke belakang. Emma tetap menunduk, saat Indra berkata, "Ada pekerjaan yang harus selesaikan. Kamar yang satunya kujadikan kantor, aku akan berada di sana sepanjang sisa malam. Kamu tidurlah di kamar utama, aku sudah meletakkan tas dan kopermu di sana. Besok kita bicara lagi."
Emma hanya bisa mengangguk. Indra mengambil piring-piring sisa makan mereka, membawanya ke wastafel dapur. Emma mendengar Indra mencuci piring. Namun Emma baru berani mengangkat kepala saat dia mendengar suara langkah kaki pria itu menjauh, lalu ada suara pintu dibuka, kemudian ditutup.
Emma menatap ke arah pintu kamar tertutup, yang bersebelahan dengan pintu kamar utama yang terbuka. Emma bangkit dari kursi dan dengan langkah gontai berjalan menuju kamar utama, lalu menutup pintu. Emma berjalan mendekati ranjang dan selama beberapa saat berdiri di kaki ranjang, menatap ke arah tumpukan bantal di atas ranjang empuk.
Di keadaan normal, Emma akan segera naik ke ranjang dan terlelap sampai siang. Namun tidak ada yang normal dalam keadaan Emma yang sekarang ini. Emma akhirnya membaringkan tubuh dengan keengganan setara orang yang disuruh berbaring di atas ranjang papan berpaku. Dia memejamkan mata, berharap tidur akan menyelamatkannya, meski hanya sementara, dari segala kekalutan pikiran.
Namun setelah berjam-jam tidur-terbangun-tidur-terbangun, kepala Emma malah terasa berat dan pusing. Jendela seluas dinding kamar di bagian utara tertutup gorden tebal sewarna pasir. Pukul setengah enam pagi, sinar matahari berwarna keemasan mulai merangsek masuk dari celah di bagian bawah gorden.
Emma tidak tahan lagi, dia akhirnya bangkit dari ranjang dan berjalan menuju jendela, menyibak gorden hingga terbuka seluruhnya. Seketika kamar jadi terang benderang. Emma lalu berjalan menuju sakelar di dekat pintu, mematikan lampu dinding, dan mengambil remote AC di samping saklar, untuk mematikan AC.
Emma keluar dari kamar, dan menutup pintu dengan hati-hati.
Emma berjalan menuju ke arah balkon yang ada di samping dapur, sembari melayangkan pandangannya ke segala penjuru apartemen. Furnitur yang ada di ruang tengah diatur dengan apik dan penuh selera. Masing-masing terlihat modern namun nyaman. Emma tahu, kalau dia hanya melihat foto ruangan ini, satu-satunya hal yang terlintas di kepalanya adalah, mahal.
Sebuah sofa tiga bangku warna kelabu dan dua sofa tunggal berwarna senada di atur mengelilingi meja kayu jati rendah, diletakkan di depan TV yang dipasang di tembok. Di samping TV, sebuah rak kayu kokoh terisi barisan-barisan buku, kebanyakan merupakan hardcover dengan tulisa tinta emas, yang lebih terlihat seperti buku rujukan hukum dan lebih cocok berada di perpus. Beberapa plakat dan piagam juga terpajang di sana, namun Emma tak berdiri cukup dekat untuk membaca tulisannya. Sebuah lukisan yang sepertinya merupakan replika lukisan Van Gogh, dipasang di salah satu dinding, satu-satunya pajangan yang ada di ruangan itu. Lukisan itu menggambarkan sebuah cemara siprus yang berdiri sendirian di tengah ladang gandum. Goresan tinta membuat gandum-gandum di lukisan itu seakan meliuk tertiup angin, dan warna hijau, biru, dipadu kuning cerah membuat lukisan itu sekilas bernuansa ceria.
Namun lama-kelamaan, lukisan itu terlihat lengang. Mungkin hanya khayalan Emma saja, tapi makin lama dilihat, cemara siprus yang menjulang itu sedikit demi sedikit terlihat membungkuk oleh kepiluan. Seakan menahan beban penyesalan yang tak tertanggungkan, dan sebagai hukumannya, dia harus berdiri sendirian, selamanya dikutuk untuk merasa kesepian di tengah keramaian.
Cemara itu mengingatkan Emma akan Indra.
Tanpa sadar, gadis itu membalikkan badannya, menatap ke arah kamar kerja Indra yang pintunya masih tertutup rapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segala Masa Lalu Kita
RomantizmEmma, Indra dan pernikahan mereka yang sarat bencana. - Unwilling wife, reluctant husband, a perfect recipe for disastrous marriage.