13

22.9K 2.9K 33
                                    

           

Emma mencengkeram tali tas kainnya kuat-kuat, berjalan mendekati Indra yang sedang bersandar di Camry hitam miliknya, menyilangkan tangan di depan dada.

"Kita pergi sekarang?" tanya Emma.

Indra menatap Emma. Tanpa berkata apa-apa, Indra membuka pintu depan mobil bagian penumpang. Emma memasuki mobil dan duduk, sementara Indra menutup pintu dan memutari bagian depan mobil, kemudian duduk di kursi pengemudi dan memakai sabuk pengaman.

"Tidak ada yang ketinggalan?" kata Indra saat dia mulai menyetarter mesin.

"Kalau pun ada, pasti tidak penting," jawab Emma.

Indra mengecek spion tengah, kemudian spion di kanan dan kiri. "Bagus," komentar Indra, lalu menjalankan mobilnya.

"Apanya yang bagus?" tanya Emma.

"Pola pikir semacam itu, ringkas dan tidak bikin repot," kata Indra. Suara mesin menderum rendah. Mobil yang mereka tumpangi berjalann mulus melewati jalan aspal yang terentang mengelilingi resor, sebelum memasuki jalan desa. Sambil tetap mengemudi dengan satu tangan, lelaki itu menarik gesper sabuk pengaman dari dekat telinga Emma dan memasukkannya ke selot sabuk hingga berbunyi klik. Saat melakukannya, buku-buku jemari Indra mengenai pundak dan bagian depan dada Emma.

Beberapa belas menit berkendara, tak ada yang bicara. Hanya ada suara samar-samar dari radio yang tidak terlalu jelas, karena mereka masih berada di lokasi yang terpencil. Lampu kabut sedan Indra menembus pekatnya malam, dan kanan kiri jalan hanya terlihat batang-batang pinus yang lurus dan membosankan.

"Kamu tidak mengantuk?" tanya Emma, sambil menguap. Mendadak Emma baru menyadari betapa lelahnya ia.

"Tadi aku sudah istirahat," kata Indra. Lelaki itu menoleh ke arah Emma. "Tidurlah," katanya pelan.

"Sebentar saja," Emma berjanji, lalu menoleh ke kiri dan memejamkan mata.

Menit demi menit berlalu, namun saking lelahnya, kantuk tak kunjung menghampirinya. Emma tetap memejamkan mata, berharap dia bisa tertidur pulas.

Namun perasaannya terlalu tak karuan, dan otaknya terlalu penuh, Emma berusaha memikirkan yang indah-indah.... Seperti jemari Indra yang kuat dan panjang.... Senyum lelaki itu yang kadang sinis, kadang masam, tapi tak pernah gagal membuat hati Emma menggembung oleh kebahagian... Mata lelaki itu, yang menatapnya dengan aneka rahasia...

Ketika Emma akhirnya terlelap, tidurnya sangat menggelisahkan.

Emma memimpikan sesuatu yang tidak bisa dia ingat, namun membuat hatinya merasa sedih dan pilu.

***

Emma terbangun dua jam kemudian.

Selama beberapa detik, Emma tidak bisa mengenali tempatnya berada. Konsol dasbor yang berpendar kebiruan dan radio mobil yang lamat-lamat mendengungkan lagu lama adalah dua hal yang pertama-tama menarik perhatiannya.

Emma langsung duduk tegak di kursi, menoleh ke kanan dan kiri.

"Sudah bangun?" tanya Indra, melirik sejenak ke arah Emma sebelum kembali memperhatikan jalan.

Suara lelaki itu tegas dan mantap, membuat Emma merasa sedikit tenang. "Ini sudah di mana?" tanya Emma, suara gadis itu parau karena bangun tidur.

Indra mengecek arloji. "Lima menit yang lalu kita baru melewati gerbang tol Cikarang Utama."

"Oh."

Tangan Indra menggapai ke cup holder yang ada di pintu mobil, lalu mengulurkan satu botol plastik air mineral pada Emma. "Minumlah," katanya.

Emma menerima botol itu dari tangan Indra. Isinya masih penuh, namun segelnya sudah terbuka. Ketika Emma mencoba memutar tutupnya, terbuka dengan mudah.

Emma meneguk isi botol itu hingga tinggal setengahnya. Sambil mengusap bibir dengan punggung tangan, dia menutup kembali botolnya dan meletakkannya di pangkuan.

Punggung Emma terasa pegal dan nyeri, dan rasanya dia ingin berbaring.

"Emma?"

"Hmm?"

"Kita akan menikah besok, pukul satu siang."

Emma terdiam, menunggu aliran adrenalin memompa jantungnya, menunggu kebahagian mengalirinya....

Namun tak ada yang terjadi.

"Oke," kata Emma, datar.

"Ada yang ingin kamu undang?"

Keluarganya besarnya. Ayahnya.

Emma mengingat bagaimana pernikahan sepupu-sepupunya dirayakan dengan terbuka dan sejak jauh-jauh hari. Tidak mewah, namun tetap elegan dan berselera. Emma mengingat satu rak dalam lemarinya yang berisi kebaya dan kain seragam, yang selalu dia dapatkan tiap kali ada keluarga dekat mengadakan acara pernikahan. Mengingat album di Facebook yang berisi foto-foto tamu berbaju bagus, dengan latar belakang dekor menawan.

Emma menelan kepahitan yang membuat tenggorokannya tercekat dan matanya panas berair.

Emma tumbuh besar dengan keyakinan yang sama. Di bawah sadarnya, Emma menginginkan menikah dengan normal, dengan terhormat. Bukan seperti ini, dijemput malam-malam seperti perempuan simpanan, dinikahi terburu buru seperti perempuan yang hamil di luar nikah.

Setelah berjuang menahan emosi dan berdeham, Emma hanya berkata pendek, "Tidak."

"Bagaimana dengan ayahmu? Keluargamu?"

"Aku tidak ingin mereka hadir," kata Emma, kali ini lebih tegas dari sebelumnya.

"Hmm.." kata Indra sembari mengangguk. "Keluargamu bermasalah?" tanya Indra blakblakan.

"Kurang lebih," jawab gadis itu, menolak membeberkan lebih lanjut. Emma tidak tahu apa yang akan dipikirkan Indra kalau lelaki itu tahu masalah macam apa yang membuat Emma pergi dari rumah dan memutus hubungan dengan nyaris seluruh keluarganya. "Kamu sendiri? Ada keluarga yang kamu undang?"

Indra menggeleng, lelaki itu terlihat memijit pangkal hidungnya. "Anak tunggal, yatim piatu, tidak dekat dengan keluarga dari pihak ibu maupun ayah."

"Oh," sahut Emma. Lalu, dengan maksud membuat suasana mencair, Emma bercanda, "Jadi hanya kita berdua saja?"

Tanpa Emma sangka, Indra menatap Emma dengan senyum manis dan lesung pipi yang melekuk dalam.

"Hanya kita berdua saja Emma... dan percayalah, itu cukup."

Hati Emma rasanya meleleh dan kalau tidak ingat Indra sedang menyetir, rasanya Emma ingin menghambur ke pelukan lelaki itu.

Demi menekan perasaannya, Emma hanya menunduk dan meremas botol air mineral hingga buku-buku jemarinya memutih.

Hanya kita berdua saja, Emma...

Tanpa sadar, gadis itumengelus perutnya yang membuncit.

Segala Masa Lalu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang