21

21.9K 2.8K 138
                                    

Setengah jam kemudian, Indra berdiri di depan pintu kamar, dengan satu tangan membawa baki dan satu tangan mengetuk pintu.

Tanpa menunggu jawaban, Indra menurunkan handel pintu dan mendorong daun pintu menggunakan bahunya.

Kamar itu terasa berbeda dibanding ketika Indra yang menempatinya. Lebih hangat dan feminin. Samar-samar aroma bedak tabur dan lotion tercium, bercampur dengan aroma manis dari bunga sedap malam potong yang diletakkan di vas kaca di sudut kamar.

Sebenarnya, tak hanya kamar ini. Seluruh rumah ini berubah. Buah segar selalu tersedia di kulkas. Roti tawar tak pernah melewati tanggal kedaluwarsa. Di kamar kerja Indra, dua pot anggrek bulan yang sedang berbunga menghiasi rak buku yang biasanya membosankan.  Sebuah pot berisi Ketapang biola pendek ditempatkan di sudut ruang TV. Aroma pembersih lantai yang segar selalu menyambut Indra setiap dia bangun tidur. Tidak ada yang mengalahkan sensasi menyenangkan melangkah di lantai yang bersih dan licin. 

Dan kalau Indra tak salah lihat, beberapa kaktus hidup mulai terselip di rak kaktus imitasi miliknya.

Gaun yang tadi dikenakan Emma sudah tersampir di lengan sofa, gadis itu kini mengenakan setelan piama, berbaring miring memunggungi pintu.

Indra berjalan memasuki kamar, hingga kini dia berdiri di hadapan Emma. Emma tidak tidur, dia hanya  berbaring dengan tatapan kosong. Kedua telapak tangannya ditangkupkan, dan digunakan untuk mengalasi pipi.

Indra bisa melihat sisa tangis gadis itu. Emma sudah mencuci mukanya, hingga tak ada jejak air mata tersisa. Namun kelopak matanya terlihat bengkak dan ujung hidungnya kemerahan.

Indra meletakkan baki berisi makan malam di nakas, lalu duduk di tepi ranjang, membuat kasur sedikit melengkung karena bobot tubuhnya.

"Aku sudah menghangatkan supnya," kata Indra, dia merapikan anak rambut Emma, dan menyelipkannya di belakang telinga gadis itu. Indra bisa merasakan tubuh gadis itu mendadak kaku saat dia menyentuhnya. "Mau makan sekarang?"

Emma menoleh, lalu pelan, nyaris tak terlihat, Emma mengangguk. Tanpa bicara, gadis itu beringsut ke tepi ranjang, dan berdiri. Emma mengambil mangkuk berisi sup, lalu menatap isi sup kemudian menatap Indra. "Kalau aku memasukan nasi ke dalam mangkuk sup ini, apakah kamu akan menghinaku?" tanya Emma serius.

Indra tertawa. "Tak masalah buatku, aku jenis orang yang mencampur nasi ke dalam mangkuk berisi indomi kuah."

Emma yang sedang memasukkan nasi di piring ke mangkuk, mengerutkan wajahnya dengan ekspresi jijik. "Itu... adalah paling menggelikan yang kudengar belakangan ini."

Indra tertawa lagi. "Kamu curang banget sih, kamu tuh, malah mencampur nasi, sup dan daging goreng ke dalam mangkuk yang sama."

Emma berjalan menuju sofa, duduk di sana dan mulai makan. "Ya tapi ini bukan indomi kuah campur nasi. Kebanyak nggak sih, kalau lama sedikit, mie sudah bengkak, berlumur nasi dan minim kuah. Pucat dan berantakan. Ew, so gross."

"Kalau lagi lapar sih enak lah," kata Indra menyeringai, memperhatikan Emma yang sedang makan dengan lahap. "Gimana, enak?"

Emma mengedikkan bahu. "Kalau lagi lapar sih, enak lah," katanya membeo.

"Masa? Menurutku, itu salah satu sop daging paling enak yang pernah kucicipi selama ini."

Emma yang sedang menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya, menghentikan tangan di udara mendengar kata-kata Indra, lalu meletakkan kembali sendoknya di mangkok. "Kamu tak perlu begitu."

"Begitu bagaimana?"

"Menghiburku. Aku tahu masakanku payah."

Indra menatap Emma lekat. "Aku serius. Supnya enak, beberapa potongan dagingnya gorengnya memang agak gosong, tapi sisanya bisa dimakan."

Segala Masa Lalu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang