26

17.3K 2.2K 197
                                    

Ibrahim Wiradilaga sedang membaca koran paginya. Pria paruh baya itu duduk di kursi rotan di halaman belakang rumahnya yang teduh di bilangan Jakarta Selatan. Barisan bambu kuning berjajar rapi menutupi tembok beton yang membatasi rumah Ibrahim dengan rumah tetangga-tetangganya. Pohon mangga, pohon rambutan dan pohon delima merah yang tampak sudah berusia tua ditanam berjarak di lapangan rumput yang terhampar, memberi kesan rimbun namun tidak terlalu sumpek. Hujan besar yang turun tadi malam masih menyisakan titik-titik air di helai dedaunan dan bilah rerumputan, aroma tanah basah harum mengisi udara.

Terdengar suara langkah kaki, namun Ibrahim tidak mendongakkan kepalanya. Hanya ada dia, Hanum, istrinya, seorang pembantu dan seorang tukang kebun merangkap supir yang tinggal di rumah ini. Ibrahim sudah menikah dengan Hanum lebih dari empat puluh tahun, dia hapal betul dari suara langkah kaki wanita itu. Ibrahim bahkan bisa menebak bahwa Hanum sedang gundah, karena langkah kakinya terdengar diseret dan sedikit tergesa.

"Pak, sudah dengar?" tanya Hanum, begitu dia duduk dengan hati-hati di kursi rotan di samping Ibrahim. Sejak beberapa tahun ini, lutut Hanum selalu bermasalah. Nyeri saat udara dingin seperti ini, berkeretak jika salah posisi.

Ibrahim menatap Hanum dari atas kacamata plus yang sedang dia kenakan.

"Dengar soal apa?"

"Sabtu kemarin Indra mengadakan pesta pertunangan."

"Dan?"

"Jadi Bapak sudah dengar?"

"Belum."

Hanum terlihat sedikit kesal, meskipun Ibrahim tidak tahu mengapa istrinya harus merasa kesal.

***

Indra merupakan buah hubungan singkat Ibrahim dengan Asthi, puluhan tahun lalu, ketika Ibrahim masih merupakan jaksa muda dan ditempatkan di Bantul, sementara Hanum di Jakarta, karena baru melahirkan Sarah, putri bungsu mereka. Asthi merupakan gadis muda yang disewa Ibrahim untuk bersih-bersih rumah dinasnya.

Hubungan Asthi dan Ibrahim tak berlangsung lama, hanya dua bulan saja. Setelah itu, Asthi mengundurkan diri karena ikut ke Jakarta dengan paman dan bibinya, menjadi penjaga toko.

Sampai sekarang, Ibrahim sendiri tak mengerti mengapa dia bisa terlibat perselingkuhan dengan Asthi. Mungkin karena dasarnya dia brengsek, dan tak butuh banyak hal untuk membuatnya terpeleset. Jauh dari istri dan dekat dengan gadis muda berparas jelita saja sudah cukup.

Ketika kemudian Asthi datang lagi padanya, perut Asthi sudah membesar. Asthi, yang yatim piatu, diusir dari rumah paman dan bibinya karena dianggap membawa aib bagi keluarga.

Ibrahim, tanpa pikir panjang, langsung membawa Asthi menghadap Hanum dan keluarga besar mereka di Jakarta.

Seperti yang sudah bisa diduga, dan sudah sewajarnya, Hanum murka. Di hadapan keluarga besar, sambil menggendong Sarah yang tertidur, dia menunjuk-nunjuk wajah Ibrahim dan Asthi, mengata-ngatai mereka dengan segala umpatan yang bisa terpikirkan oleh wanita itu.

Asthi menangis tanpa suara, sementara Ibrahim hanya tertunduk lemas. Ayah Ibrahim, yang ketika itu masih hidup, akhirnya menenangkan Hanum dan berusaha mendiskusikan penyelesaian masalah mereka. Aborsi bukan jalan keluar, tetapi memiliki istri dua, atau menceraikan Hanum dan menikahi Asthi juga mustahil. Karier Ibrahim sebagai jaksa taruhannya.

Meski Hanum dengan tegas menyuarakan keberatannya, namun akhirnya diputuskan agar Ibrahim mengirimkan uang bulanan pada Asthi, sebagai biaya membesarkan anak sejak Asthi mengandung, melahirkan sampai anak di kandungan Asthi berusia dua puluh dua tahun. Asthi juga dilarang memberi nama belakang anaknya Wiradilaga seperti anak-anak Hanum dan Ibrahim, Rinaldi Wiradilaga dan Sarah Wiradilaga. Asthi diam saja sepanjang diskusi, tak pernah bicara, hanya menunduk dan meremas tangan di pangkuannya.

Segala Masa Lalu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang