Emma merutuk dalam hati, mengingatkan diri untuk membeli gaun atau baju dengan bukaan depan sesegera mungkin.
Indra sudah sedari tadi bolak-balik di hadapannya. Mengambil kaus dalam dari laci lalu mengenakannya. Mengambil kemeja dari lemari gantung, lalu mengenakannya. Kini dia berdiri di hadapan Emma, menghadap cermin dan mengenakan dasi. Sesekali, pria itu melirik ke arah Emma lewat pantulannya di cermin.
Sementara Indra sudah hampir selesai berpakaian, Emma masih berkutan dengan ristleting belakang gaun yang sedang dia kenakan.
Berat badannya mulai bertambah dan pilihan pakaiannya mulai berkurang. Dari semua pakaian yang dia bawa, hanya tinggal gaun ini yang masih muat di tubuhnya.
Sekarang, yang jadi masalah, adalah bagaimana membuat ritsleting ini naik—
Setelah selesai mengenakan jas dan merapikan dasi, Indra baru menyadari pergumulan yang terjadi pada gadis itu.
Indra lalu berjalan ke belakang Emma, menepis tangan gadis itu. "Bilang dong kalau butuh bantuan," katanya, mulai menaikkan ritsleting Emma.
Emma menarik napas tajam saat dia merasakan buku-buku jemari Indra yang hangat mengenai punggungnya yang dingin karena sekian lama terpapar udara ber-AC. Bulu-bulu halus di lengan Emma kemudian berdiri.
Indra meletakkan kedua tangan di pundak Emma dan memutar tubuh gadis itu, membuatnya berhadapan dengan Indra. Lelaki itu lalu menatap Emma dari ujung rambut ke ujung kaki.
"Kamu gendutan ya?" tanya Indra, dengan alis bertaut.
Emma mundur selangkah. Kepalanya terasa agak pening saat menyadari implikasi dari ucapan Indra. Bengkak dan kenaikan tubuh yang cepat merupakan tanda-tanda awal yang harusnya Emma waspadai. Namun dengan segala hal yang terjadi belakangan ini, Emma sampai melupakannya.
Emma menekan kekhawatirannya. Tak ada gunanya merisaukan itu sekarang. Dia harus tetap tenang, stres adalah hal terakhir yang dia butuhkan. Lagi pula, Indra tidak boleh tahu kalau perkataannya tersebut membunyikan alarm tanda darurat dalam diri Emma. Maka Emma pun melakukan hal yang dilakukan oleh jutaan perempuan lain kalau dikatai gendut.
Emma pura-pura tersinggung. "Yah, dan kita berdua tahu ulah siapa itu."
Indra menyeringai, tanpa sama sekali merasa bersalah atau menyesal, malah nyaris bangga. Jantung Emma langsung berdebar tak karuan melihatnya.
Indra membungkuk sedikit dan menepuk perut Emma yang membuncit. "Bagus, kita bikin ibumu gendut ya... kamu dari dalam, Ayah dari luar."
Emma menatap kepala Indra, yang kali ini mendusel lembut ke perutnya.
Hati Emma bagai ditusuk pisau tajam, lalu gagangnya diputar pelan. Sakit sekali rasanya, pedih tak terperi.
Saat itu juga, Emma ingin bersimpuh di hadapan Indra. Mengakui segalanya. Mengakui semua rencananya.
Emma mengepalkan tinjunya kuat-kuat, lalu mundur selangkah.
Dia harus kuat.
Emma sudah bertahun-tahun menghabiskan waktu membenci diri sendiri. Apa yang akan dia lakukan, meski dipastikan akan menghancurkan Emma dan Indra, adalah langkah yang memang diperlukan kalau Emma ingin hidup normal, bukan penuh ketakutan, sampai harus tinggal menyepi di resor terpencil seperti sebelumnya.
Indra kembali menegakkan badan, menatap Emma. "Apa?" tanya Indra.
Emma tahu wajahnya memucat. Emma dengan cepat mengalihkan pembicaraan. "Kalau kita tidak berangkat sekarang, kita tak akan sampai ke restoran pukul delapan tepat."
Indra mengusap wajah dan mengecek arlojinya. "Betul juga," kata Indra. "Kamu sudah siap? Kita berangkat sekarang?"
Emma mengangguk. Dia mulai berjalan keluar kamar. Indra mematikan AC dan lampu lalu menyusul Emma.
"Kamu sudah reservasi? Bukannya Arumdalu restoran yang penuh terus? Aku baca reviewnya di Internet habis kamu telepon siang tadi. Memangnya bisa mendadak begini?" tanya Emma, sembari melangkah bersisian dengan Indra menuju pintu depan.
"Mendadak, karena orang yang mengundang kita makan malam juga baru meneleponku pagi-pagi. Kalau urusan reservasi, tidak usah khawatir. Aku yakin orang yang akan mengundang kita sudah mengurusnya."
Mereka sudah sampai di koridor apartemen. Emma berdiri di samping Indra, menunggu pria itu mengunci pintu. "Kita bakal makan malam sama siapa sih?" tanya Emma, baru sadar kalau Indra belum mengatakan apa-apa soal orang yang mengundang mereka makan malam.
Indra dan Emma berjalan menuju lift di ujung koridor.
"Nanti juga kamu tahu sendiri," kata Indra, senyumnya terlihat pilu.
Ekpresi itu baru pertama kali Emma lihat muncul di wajah Indra. Nyaris tanpa berpikir, Emma mendekatkan diri ke Indra hingga lengan mereka bersentuhan, lalu menautkan jemarinya di sela-sela jemari Indra.
Emma bisa merasakan kepala Indra menoleh penuh tanya ke arahnya, namun Emma memandang lurus ke depan. Takut kehilangan keberanian. Tangan Indra terasa hangat dan kokoh dalam genggaman Emma, lengan Indra yang kuat bersinggungan dengan lengan Emma yang telanjang tiap kali mereka melangkah, membuat Emma harus mati-matian menahan diri untuk tak menyandarkan kepalanya di sana, meminjam sedikit kekuatan dari pria itu.
Indra akhirnya tak bicara apa-apa. Tangannya meremas tangan Emma sekali, seolah memberi tahu tanpa suara bahwa dia ada di sana.
Mereka tetap berjalan berdekatan, bergandengan tangan saat masuk lift dan menyebrangi parkiran menuju mobil Indra yang terparkir di sana. Menghargai setiap sentuhan dan keheningan yang melingkupi mereka.
Sesudah sampai di depan mobil, Emma dan Indra sama-sama menoleh, lalu sama-sama tersenyum sedih dan melepas genggaman tangan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segala Masa Lalu Kita
Roman d'amourEmma, Indra dan pernikahan mereka yang sarat bencana. - Unwilling wife, reluctant husband, a perfect recipe for disastrous marriage.