11

26.5K 3.1K 38
                                    

Indra mengantar Emma hingga ke pintu kamar gadis itu. Mess karyawan resor jaraknya hanya lima menit berjalan dari gerbang belakang, merupakan bangunan dua setengah tingkat berbentuk U, dengan area tengah dipergunakan sebagai tempat parkir.

"Mau masuk dulu?" tanya Emma saat mereka sampi di depan kamar Emma yang ada di lantai satu, sekadar berbasa-basi. Untungnya, saat itu baru pukul tujuh, belum masuk jam makan malam para penghuni mess, sehingga situasi tampak lengang.

Indra menggeleng. Lelaki itu mengecek arlojinya. "Aku harus kembali ke kamar dan menelepon beberapa orang. Setelah itu, aku akan menjemputmu dan kita ke Jakarta malam ini juga. Bisa kupinjam KTP-mu?" tanya Indra.

Emma mengaduk isi tas kain yang tercangking di bahu dan mengambil dompet kecil miliknya.

"Silakan," kata Emma, menyodorkan KTP yang dia jepit antara telunjuk dan jari tengah.

"Aku akan datang satu jam lagi," kata Indra, seraya mengambil KTP dari tangan Emma.

Setelah Indra berlalu, Emma mengerjakan beberapa hal sekaligus. Dia menghimpit ponselnya di antara telinga dan bahu, pertama-tama menelepon Bu Evi, manajer personalia, untuk mengundurkan diri secara lisan dan menyusulkan surat pengunduran dirinya kemudian. Kedua, menelepon Bu Sundari, untuk berpamitan. Sembari menelepon, Emma hilir mudik mengambil pakaian yang terlipat di lemari, dan memasukkannya koper yang terbuka di dipan.

Beberapa penghuni mess yang mengenalnya melongok ke dalam kamar yang pintunya memang sengaja Emma biarkan terbuka.

Percakapan Emma dan rekan-rekannya dibuka dengan aneka pertanyaan, yang bisa dikategorikan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama membuka percakapan dengan bertanya, "Lho, Emma mau ke mana?" sementara kelompok kedua berseru tanpa tedeng aling-aling, "Emma, katanya kamu habis makan malam dengan Indra Wiratama ya!"

Untuk kedua pertanyaan itu, Emma menjawab dengan singkat, padat dan tak terlalu jelas. Dari sekadar tersenyum, nyengir, sampai jawaban mengambang macam, "Iya nih, aku mau pindah, mendadak banget, maaf ya," atau "Indra Wiratama? Eh, yah..."

Teman-teman yang datang berpamitan makin banyak, lalu makin sedikit, dan mulai masuk kamar masing-masing atau pergi keluar mencari makan, sampai akhirnya, saat Indra datang, Emma sedang duduk menghadap meja tulis, menghadap selembar kertas kosong.

Gadis itu sudah mengenakan sweater longgar warna hijau lumut, dengan rambut tergerai mengikal di sekitar bahu, dan rok hitam polos yang melebar di sekitar lutut.

Satu buah koper ukuran besar dan satu buah tas kain ukuran sedang terjajar rapi di dekat kakinya.

Indra berdiri sambil menyandarkan bahu kirinya di kusen pintu, mengamati Emma.

Lampu baca sedang dinyalakan dan membuat wajah Emma yang halus berpendar hangat saat gadis itu mendongak, menatap Indra dengan pandangan bertanya.

"Apa?" tanya gadis itu.

"Berapa umurmu?" tanya Indra.

"Dua puluh tiga." Emma menatap pria itu sejenak seolah hendak menanyakan sesuatu, tetapi berubah pikiran, lalu kembali menunduk, meneruskan menulis surat pengunduran diri.

Indra menghitung dalam hati dari satu hingga sepuluh, sembari menatap puncak kepala Emma, menunggu apakah Emma akan melanjutkan ucapannya.

Gadis itu hampir bertanya tentang usianya, Indra tahu. Itu adalah sopan-santun, basa basi paling mendasar. Kamu bertanya tentang sesuatu, yang ditanya menjawab, dan balik bertanya.

Fakta bahwa Emma memutuskan untuk tidak bertanya balik mengisyaratkan bahwa gadis itu tidak peduli berapa usia Indra, atau gadis itu ingin menjaga agar hubungan mereka tetap dingin dan resmi.

Setelah yakin bahwa Emma akan tetap dengan kesibukannya, Indra melepas sepatunya di keset, dan memasuki kamar Emma.

Kamar gadis itu berukuran sekitar 3 x 4 meter, berisi lemari dua pintu, dipan ukuran single dan meja tulis beserta kursinya. Kesemuanya terbuat dari kayu sengon yang diserut kasar dan dipelitur seadanya. Indra duduk di tepi dipan, kedua tangannya lalu digunakan untuk menekan papan pinggiran dipan, mengetes kekuatannya.

Terdengar suara kreot kreot nyaring.

"Sedang apa?" tanya Emma. Gadis itu kini duduk menyamping, sikunya bertumpu pada punggung kursi, menatap Indra.

"Kamu masih lama?" tanya Indra. "Aku ingin meluruskan punggung sebentar."

"Dan kamu sedang mengira-ngira apakah dipanku yang menyedihkan akan hancur kalau kamu dan egomu yang sebesar kapal itu berbaring di sana?"

Indra menatap Emma.

Sorot mata gadis itu terlihat malu campur terhina. Namun dagu gadis itu terlihat tegas dan sedikit naik, jelas-jelas menantang Indra. Indra baru menyadari bahwa tingkahnya tadi mungkin menyakiti hati Emma.

Indra menimbang-nimbang apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya pada Emma. Bahwa ranjang ini lebih mewah dari kasur busa tipis berbau apak dan lembap yang Indra tiduri sejak dia kanak-kanak hingga tumbuh dewasa. Bahwa satu dekade yang lalu, jangankan fettucine saus truffle seharga tiga ratus ribu rupiah, ayam goreng saja sudah merupakan makanan mewah bagi Indra. Makanan sehari-hari Indra adalah nasi bertabur garam, tahu rebus dan sebiji cabai rawit untuk penambah rasa.

Tapi Indra akhirnya memutuskan bahwa baik dia maupun Emma tidak dalam kondisi yang mendukung untuk memberi atau mendengar pengakuan semacam itu.

"Very sassy, Emma...," kata Indra, tersenyum masam, "tapi jangan sekarang. Aku capek." Indra menepuk-nepuk bantal lalu meletakan kepalanya di sana dan berbaring memandang langit-langit kamar.

Aroma manis yang samar menggelitik hidung Indra. Aroma yang mengingatkan Indra di pagi hari itu. Ketika dia pertama kali melihat Emma, dan melihat seekor ular bergantung di dahan di atas kepala gadis itu.

Indra ingat ketika Emma melihat ke arahnya.

Sejak ibunya menelantarkan Indra ketika Indra baru kelas 3 SMP, Indra mengira dia sudah tidak bisa merasakan apa-apa. Indra tidak pernah merasa sedih, senang, atau takut. Indra remaja terlalu sibuk mencari cara agar dia bisa tetap makan dan sekolah untuk memikirkan perasaannya.

Namun saat Emma dan Indra beradu pandang pagi itu, Indra merasakan sesuatu... Sesuatu yang berdenyar dari jantungnya, merambat hingga ke ujung kaki dan ubun-ubunnya.

Seakan ada yang menusukkan pisau ke dada Indra, lalu memutar gagangnya.

Indra masih mengingat cara Emma menatap pagi itu... Tersesat, bingung, kesepian dan hilang arah. Tatapan yang mengingatkan Indra akan dirinya sendiri.

The sadness was so profound, the loneliness was so poignant, it made his heart ached.

Indra yang selalu disiplin dan terencana, Indra yang tidak pernah melakukan tindakan spontan atau impulsif, memutuskan dalam sepersekian detik, bahwa dia harus menyelamatkan orang yang membuatnya merasakan sesuatu.

Itu adalah sepersekian detik yang sering dibicarakan orang-orang. Wangsit, inspirasi, wahyu, nubuat.

Indra tak ingat bagaimana dia berlari, dia hanya ingat ketika merengkuh Emma dalam pelukannya, dan menghirup aroma gadis itu yang manis dan mengingatkannya akan sesuatu yang menyenangkan...

Perut bagian bawah Indra serasa digelitik, dan lelaki itu merasakan keinginan yang tak tertahankan untuk kembali merengkuh Emma dalam pelukannya.

Indra balik badan, berharap jika dia berbaring tengkurap, keinginannya itu akan mereda.

Namun dengan kepala terbenam di bantal, tiap kali Indra menarik napas, aroma Emma makin kuat terhirup olehnya.

Segala Masa Lalu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang