25

17.8K 2.3K 59
                                    


Emma mendiamkan Indra sepanjang sisa pesta.

Ketika mereka akhirnya pulang, Indra menyetir sembari berkali-kali melirik ke arah Emma. Gadis itu bergeming di tempatnya duduk, memalingkan wajah ke luar jendela, entah melamun entah merenung, sembari bertopang dagu. Indra hanya dapat melihat refleksi buram wajah Emma dari kaca mobil.

Emma tak juga bicara saat mereka menyeberangi parkiran memasuki gedung apartemen, hanya ada suara sandal Emma dan sepatu Indra bergema di ruangan yang sepi dan temaram itu.

Masih tak ada yang bicara saat mereka memasuki lift. Baik Emma dan Indra memilih bersandar di sisi lift yang berseberangan. Indra menatap Emma lekat, sementara yang ditatap menunduk, pandangannya terarah pada pola geometris di lantai lift.

Mulanya Indra mengira Emma sedang kesal atau marah, tapi kini Indra menyadari Emma lebih terlihat... hampa.

"Kalau kamu mau, aku punya nomor ponselnya," kata Indra saat mereka sudah melepas sepatu dan sandal di ruang depan dan berjalan melewati ruang tengah menuju kamar.

"Siapa?" tanya Emma yang berjalan di depan Indra.

"David. Atau, yang lebih kamu kenal dengan sebutan Kak Nicoooo," kata Indra, mengatupkan kedua tangan dan meletakkannya di sebelah pipi kiri, menirukan suara Emma, namun melebih-lebihkannya, sehingga berkesan manja dan merajuk.

Kepala Emma menoleh begitu cepat dan begitu mendadak, gadis itu beruntung lehernya tidak keseleo.

Selama dua detik penuh, Emma menatap Indra dengan tatapan dingin berapi-api. Indra tidak suka ditatap begitu, tapi setidaknya itu lebih baik daripada Emma terus-terusan menghinda

"Sayang aku tidak punya nomernya."

Giliran Indra yang bertanya dengan alis bertaut, " Siapa?"

"Paula. Tapi mungkin aku tak perlu khawatir, aku yakin kamu punya. Kapan kamu berencana menghubunginya lagi? Besok pagi? Atau besok siang?" Tanpa menunggu jawaban Indra, Emma berjalan cepat menuju kamar. Gadis itu membuka pintu dengan kasar, dan setelah masuk, berusaha membanting daun pintu keras-keras, nyaris menghantam wajah Indra yang berjalan mengejarnya.

"Apa maksudnya itu?" tuntut Indra.

Emma melemparan tas kecil yang sedari tadi dia bawa ke ranjang, lalu menurunkan ritsleting gaunnya. "Kamu tahu apa maksudku," sahut Emma ketus, dia melepas gaunnya, hingga tinggal memakai baju dalaman tipis. Emma berjalan ke lemari laci, menarik laci paling atas dan mengambil sehelai kaus dan celana panjang katun. Emma melewati Indra menuju kamar mandi, dengan sengaja menyenggol bahu pria itu.

"Kenapa kamu jadi marah? Bukan aku yang sembarangan dicium pipinya oleh tamu asing di pesta pertunanganku sendiri." Indra mencengkeram pundak Emma, tidak keras, namun cukup untuk menhentikan langkah gadis itu.

Emosi Indra naik tanpa bisa ditahan. Dia marah, lebih pada dirinya sendiri. Ekspresi Emma saat bertemu David, saat pria itu menyentuhnya, masih terbayang di ingatan Indra. Sinar mata Emma yang terlihat kaget, senang, lalu penuh kerinduan. Tingkah Emma yang kemudian melamun, merenung, dan termangu setelah David berpamitan dan sepanjang jalan pulang.

Seakan-akan kehadiran David begitu berarti meski hanya sejenak, dan kepergiannya membuat Emma terpukul.

Indra, dengan dada yang terasa agak nyeri, harus mengakui bahwa Emma tak pernah seperti itu dengannya. Kehadiran Indra dalam hidup Emma lebih sering disikapi penuh kewaspadaan dan rasa lelah.

Emma membalikkan badan, menepis tangan Indra yang masih di bahunya dengan tak suka. "Bukan aku yang mengajak pacarku mojok di balkon, di pesta pertunanganku sendiri," balas Emma sengit.

Segala Masa Lalu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang