19

22.3K 2.8K 126
                                    

           

Indra termangu di hadapan layar komputernya, mengenakan kacamata minus setengah yang biasanya dia gunakan saat mengetik atau membaca dokumen, demi menghindari mata yang lelah.

Semua keluarga bahagia sama saja, semua keluarga tak bahagia, merana dalam ketidakbahagian mereka masing-masing.

Kalimat itu didengarnya dari mulut Emma empat hari yang lalu, namun masih bergaung di kepalanya hingga kini.

Indra tak tahu apa yang membuat kata-kata itu begitu membekas untuknya. Mungkin karena kalimat tersebut mengandung kepasrahan sekaligus keberanian.

Indra tidak lagi mengorek-ngorek soal keluarga Emma. Kalau ada yang Indra pahami soal Emma, makin didesak, Emma akan makin bungkam dan menarik diri.

Terhitung hari ini, Indra dan Emma sudah tinggal bersama di apartemen selama lima hari. Kecuali di hari pertama, selama ini interaksi di antara mereka minim drama dan penuh sopan santun, seakan mereka berdua sama-sama penghuni kos yang cukup menganggukkan kepala saat berpapasan di koridor.

Emma tidur di kamar utama, sementara Indra tidur di sofa bed kamar kerja, dengan kaki menggantung seperti biasa. Indra hanya masuk ke kamar pagi hari untuk mengambil baju kerja atau malam hari, saat dia mengambil baju tidur. Indra membiasakan diri mandi di kamar mandi tamu yang sempit di dekat dapur.

Siapa saja yang bangun lebih dahulu, menyediakan sarapan. Kemarin, Indra menyiapkan dua porsi roti lapis selai kacang, sosis panggang dan buah kiwi iris. Pagi ini, Emma menyiapkan dua porsi pasta dengan saus krim keju dan teh Lipton hangat bergula batu.

Untuk makan malam, kesepakatan tak tertulisnya adalah Indra yang membawa makan malam, atau mereka memesan makanan untuk diantar.

Terdengar pintu diketuk dua kali, namun sebelum Indra mempersilakan, pintu kaca itu terbuka, dan sebuah kepala melongok ke dalam.

"Aku mengganggu?" tanya Erwin.

Indra menggeleng, sembari melepas kacamata dan melirik ke arah jam digital di mejanya. Jam makan siang sudah berakhir lima belas menit yang lalu. Waktu memang berjalan lebih cepat kalau kamu melamunkan kehidupan rumah tanggamu yang menyedihkan dan palsu.

"Masuklah," kata Indra, pada pria yang lebih muda itu. Indra pergi ke minibar di sudut ruangan, menuang air ke teko elektrik dan menyalakan tombol pemanas. "Kopi atau teh?" tanya Indra.

"Kopi," kata Erwin, sembari memasuki kantor Indra dan menutup kembali pintu kaca. Dia duduk di sofa empuk berlapis kulit, meletakkan kantung kertas cokelat yang sedari tadi dia pegang sambil menyeringai, matanya menatap minibar yang berisi kaleng minuman, kaleng soda, serta kotak bambu berisi sachet-sachet teh celup, gula, krimer dan sekantong biji kopi. "Indahnya dunia kalau kamu rekanan firma, bisa minum kopi tiap saat sambil menatap keluar jendela," tambah Erwin, merujuk pada minibar yang ada di ruangan kantor yang ditempati setiap associate, lengkap dengan jendela besar menghadap ke jalan Casablanca yang sibuk dan ramai.

"Lebih gampang menjamu tamu begini, daripada sedikit-sedikit harus panggil OB," kata Indra, membawa dua cangkir kopi dan meletakkannya di meja, bersebelahan dengan kantung kertas cokelat yang tadi dibawa Erwin. "Apa ini?"

"Untukmu. Tadi aku habis makan siang di Marco's, bareng teman-teman. Agatha bilang, kamu tidak keluar makan siang setelah dia memberikanmu dokumen sidang Jala Samudra."

"Scallop sandwich?" tanya Indra sembari mengambil kantong itu, menyebutkan menu favoritnya dari Marco's.

Erwin mengangguk. "Kubelikan dua porsi," katanya.

Indra mengambil satu sandwich yang masih terbungkus kertas coklat dan mulai memakannya. Setelah menelan suapan pertama, Indra baru menyadari kalau dia kelaparan.

Segala Masa Lalu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang