Mandi air hangat membuat perasaan Emma membaik.
Masalah tidak serta merta hilang, namun setidaknya Emma pikirannya lebih jernih.
Emma keluar kamar mandi dengan kulit lembap, pipi kemerahan, dan harum sabun beraroma jeruk dan bunga-bungaan. Dari busanya yang lembut dan wanginya yang menempel lama, Emma tahu ini bukan jenis sabun yang bisa di beli di minimarket atau warung tetangga sebelah.
Kamar mandi yang dipakai Emma berada di dalam kamar utama. Emma melipat baju kotor dan membuka tutup keranjang rotan yang berada dekat pintu kamar mandi. Hanya ada baju yang sebelumnya dipakai Indra, lelaki itu mandi sebelum Emma.
Emma berdiri termangu, satu tangan menggenggam tutup keranjang, satu tangan menggenggam baju kotor miliknya, matanya terpaku pada baju kotor milik Indra.
Emma sudah mengandung anak Indra, namun entah mengapa, meletakkan baju kotor di keranjang yang sama membuatnya ragu dan berat. Terasa sangat intim, dan domestik.
Tapi sudah terlambat untuk mundur sekarang, bahkan meskipun Emma ingin.
Setelah menghela napas panjang, Emma akhirnya meletakkan bajunya ke dalam keranjang rotan dan menutupnya kembali, lalu berjalan keluar kamar.
***
Emma mendapati Indra berdiri menghadap kompor di dapur. Indra melirik Emma dari balik bahunya saat menyadari gadis itu mendekat.
"Duduklah," katanya, menunjuk ke arah meja makan kecil yang memisahkan mereka. Emma menuruti perintah Indra, dia menarik salah satu bangku. Dua piring putih kosong sudah tersedia di meja, sementara semangkuk besar nasi mengepul di tengah.
Indra mendekati meja sambil membawa wajan besi tempa bergagang yang terlihat berat. Dia meletakkan serbet kain di meja, lalu menggunakannya untuk alas.
Mulut Emma langsung berair menghirup aroma sedap dari makanan yang baru selesai dimasak Indra. Perutnya langsung berbunyi. Hanya sopan santun yang mencegahnya untuk menciduk nasi dan mulai makan dengan lahap.
"Sekarang sudah pukul tiga pagi. Apakah ini makan malam yang terlambat atau sarapan yang terlalu pagi?"
Indra yang baru saja duduk di hadapan Emma menatap gadis itu sejenak, seakan bingung saat menyadari Emma baru saja mengajaknya bicara dengan nada bersahabat, tanpa sarkasme atau kesinisan.
Ekspresi bingung Indra segera berganti dengan senyum tipis. "Anggap saja keduanya, agar aku punya alasan untuk menghabiskan dua porsi," kata lelaki itu sambil menciduk nasi ke piring dan mengambil lauk dari wajan. Emma melakukan hal yang sama.
Indra membuat telur ceplok berbumbu yang belum pernah Emma lihat sebelumnya. Emma tahu telur ceplok yang dimasak balado atau dimasak semur, tapi yang ini hanya berbumbu iris, dengan rasa pedas, manis dan wangi di mulut.
"Apa ini?" tanya Emma, setelah menghabiskan setengah piring nasi, tak tahan untuk tak bertanya.
"Telur kecap serai," kata Indra. "Enak?"
"Banget," jawab Emma, lalu kembali menyuapkan sesendok nasi dan lauk ke dalam mulut. Rasa gurih telur, pedasnya cabai rawit, serta harumnya bawang dan serai yang digoreng kering membuat Emma merasa ingin mengangguk-angguk riang.
"Kamu ingin mengundang keluargamu di pernikahan kita?" tanya Indra.
Emma yang sudah hendak mengangkat sendok ke mulut, menghentikan tangannya di udara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segala Masa Lalu Kita
RomanceEmma, Indra dan pernikahan mereka yang sarat bencana. - Unwilling wife, reluctant husband, a perfect recipe for disastrous marriage.