Emma sempat berpikir untuk mengetuk pintu kamar Indra, namun segera mengenyahkan gagasan itu. Mungkin kurang tidur dan berada di tempat asing membuatnya melankolis. Memangnya apa yang bisa dia lakukan? Memeluk Indra, membisikkan kata-kata penghiburan di telinga lelaki itu?
Meski pengakuan Indra kemarin membuat dadanya berdebar menyenangkan, Emma tidak mau mendengar Indra bicara seperti itu lagi. Kalau bisa, Emma akan mengerahkan segala kekuatannya untuk membuat Indra berhenti berpikir bahwa pernikahan mereka bisa lebih dari sekadar pernikahan wajib, hanya agar anak mereka kelak lahir dari perkawinan yang sah.
Mungkin Emma bisa berpura-pura tidak memahami betapa emosionalnya Indra kemarin.
Hei, ceritamu membuatku tersentuh. Apalagi di bagian kamu menganggapku sebagai rumah, atau sesuatu semacam itu. Maksudku, itu terlihat sangat meyakinkan, apa kamu berlatih di depan cermin sebelumnya?
Emma yakin itu akan cukup untuk membuat Indra kesal padanya.
Emma menggeleng pelan, rasanya masih terlalu pagi untuk memikirkan Indra, atau memikirkan situasi rumit yang sedang dia hadapi ini.
Untuk mengalihkan perhatiannya, Emma pergi ke arah dapur, berharap dia bisa mencuci piring atau membereskan sesuatu, mengingat Indra menggunakannya untuk memasak semalam.
Dapur mungil itu berbentuk huruf L, dengan konter yang dilapis granit hitam. Sebuah kompor free-standing berwarna metalik berdiri di ujung dapur, sementara ujung satunya, kulkas dengan pintu ganda berwarna serupa berdiri kokoh. Kabinet atas dan bawah berwarna putih cerah, dengan kenop hitam yang memberi sentuhan maskulin. Warna putih dan metalik yang dominan, dan sedikit warna hitam, membuat dapur itu terlihat lega sekaligus kokoh.
Setelah Emma berada di dapur, Emma menyadari bahwa dapur itu sudah bersih dan rapi. Tidak ada piring kotor atau tetesan minyak. Selain jago memasak, jago cari duit, rupanya Indra juga jago berbenah.
Memutuskan bahwa tak ada yang bisa Emma lakukan di dapur, gadis itu berjalan menuju pintu kaca yang menghadap ke balkon. Pada dinding di samping pintu, berdiri sebuah rak besi 5 susun yang dicat warna putih.
Di tiap bilah rak, berjajar pot-pot keramik warna kecil, yang ditumbuhi aneka pohon kaktus mini dengan berbagai bentuk dan warna. Mendadak, Emma mendapat ide.
***
"Apa yang sedang kaulakukan?"
Emma berbalik. Dia sedang berjongkok, menyiram pot-pot yang berada di laci paling bawah.
Indra berdiri di belakangnya, rambutnya terlihat kusut. Pria itu mengenakan kaus oblong tipis, dan celana pendek selutut. Matanya terlihat kemerahan, tanda kurang tidur, dan tangannya memegang sebuah mug keramik berwarna hitam.
"Apa yang sedang kaulakukan?" Indra mengulang pertanyaannya, kali ini dengan nada heran, bingung, bercampur geli.
Emma memutuskan bahwa posisi jongkoknya membuat dia harus menengadah menatap Indra, dan membuatnya dalam posisi lemah.
Masih sambil membawa botol plastik di tangan kanan, yang Emma gunakan untuk menyiram kaktus, gadis itu berdiri.
"Menyiram kaktusmu," jawab Emma ketus.
"Kenapa?" tanya Indra, kini wajahnya terlihat kebingungan bukan main.
Emma berdecak. "Dengar, aku tahu kaktus tidak butuh banyak air dan aku sudah mengecek media tanam mereka, aku berhati-hati--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Segala Masa Lalu Kita
RomanceEmma, Indra dan pernikahan mereka yang sarat bencana. - Unwilling wife, reluctant husband, a perfect recipe for disastrous marriage.