Samar-samar, terdengar suara pintu diketuk.
Emma mengerjapkan mata, berusaha membiasakan diri dengan situasi di kamar. Dia menajamkan telinga, berusaha mematikan apakah ketukan yang tadi dia dengar sungguh-sungguh nyata atau sisa dari mimpi tidur siangnya.
Dia tidak tahu berapa lama dia sudah tertidur. Namun seingatnya, ketika dia merebahkan badan sepulang sarapan tadi, langit yang terlihat dari jendela kamarnya terang kebiruan tanpa awan. Kini, matahari terlihat tergelincir dan awan putih tipis mulai menyebar merata di langit.
Emma mengecek jam digital di nakas, sudah pukul setengah tiga. Dia sudah tertidur hampir tiga jam.
Ketukan di pintu kembali terdengar, kali ini, Emma duduk di ranjang, dan berjalan menuju pintu.
Emma membuka pintu kamar, dan tanpa menunggu Indra bicara atau mempersilakan lelaki itu masuk, Emma kembali ke dalam kamar, duduk di sofa tunggal dekat pintu. Bangun dari tidur terlalu cepat membuat ruangan terasa berputar.
"Aku mengganggu tidurmu?" tanya Indra, sambil menyilangkan tangan di depan dada dan menyandarkan sebelah bagi di bingkai pintu, menatap Emma penuh perhatian.
Lelaki itu terlihat segar dan berbau wangi. Rambutnya terlihat setengah basah, kaus oblong dan celana pendeknya sudah berganti dengan celana kain dan kemeja pas badan warna biru langit.
Emma menggeleng. "Aku sudah setengah terbangun saat kamu mengetuk pintu."
Indra mengangguk, dia lalu berjalan memasuki kamar dan duduk di tepi ranjang, hingga posisi mereka berhadap-hadapan.
"Ada yang perlu kubicarakan," kata Indra.
"O-oh," kata Emma. "Kamu ingin memutuskan hubungan kita karena aku terlalu baik untukmu? Dan berharap kita bakal tetap berteman baik?"
Indra tertawa. "Sayangnya bukan itu."
"Sayang sekali," Emma manggut-manggut.
"Ingat kalau aku bilang kalau kita akan menikah besok?"
Emma mengangguk. "Yah. Aku ingat. Kemarin, di resor. Kamu juga meminta KTP-ku." Emma menunduk sejenak, sebelum kembali menatap Indra. "Rasanya seperti sudah lama sekali."
Indra menggunakan telunjuk dan jari tengahnya untuk mengambil sesuatu dari kantung kemeja yang ia kenakan, lalu mengangsurkannya ke hadapan Emma. "KTP-mu," kata pria itu.
Emma mengambil KTP dari tangan Indra tanpa berkata-kata.
"Kita tak menikah besok," kata Indra. "Persiapannya butuh waktu lebih lama dari yang kuperkirakan."
"Apa yang kurang?"
"Tidak ada," kata Indra. "Hanya saja, aku butuh waktu lebih banyak kalau mengadakan pesta dan menjamu dua ratus tamu."
Raut wajah Emma memucat. Membayangkan menikah di hadapan petugas dan saksi-saksi saja sudah membuatnya merasa canggung. Membayangkan kecanggungannya ditonton dua ratus orang membuat bulu kuduk Emma meremang. "Kukira kita hanya perlu mengucapkan sesuatu dan menandatangani sesuatu. Kamu tak bilang apa-apa soal pesta."
Indra bangkit dari duduknya, kedua tangannya dijejalkan ke kantung celana. "Tadinya memang begitu, sampai aku bicara dengan ayahmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Segala Masa Lalu Kita
RomansaEmma, Indra dan pernikahan mereka yang sarat bencana. - Unwilling wife, reluctant husband, a perfect recipe for disastrous marriage.