37

20.6K 2.2K 291
                                    


Emma merasakan darahnya tersirap saat Indra memasuki ruangan tanpa mengetuk. Wajah lelaki itu terlihat menggelap oleh emosi, dan dengan tatapan tak percaya mengitari seluruh ruangan. Indra menatap tajam ke arah Erwin, dan lima pengacara lain yang datang bersamanya. Hampir semua orang yang ditatap Indra bergerak-gerak gelisah di tempat mereka berdiri. Erwin memang sempat berkata, bahwa sangat sulit untuk merekrut orang untuk timnya. Kebanyakan tak ada yang berani berada dalam posisi yang bersebrangan dengan Indra Wiratama. Hanya pengacara yang masih muda, 'berani mati', dan tak pnya banyak hal untuk dipertaruhkan yang akhirnya mau diajak Erwin bergabung dengan timnya.

"Apa-apaan ini?" Suara Indra terdengar menggelegar.

Emma tanpa sadar memegangi dada bagian kirinya, kaget mendengar bentakan Indra. Sepanjang Emma mengenal Indra, lelaki itu tak pernah berkata sekeras itu.

Emma bisa melihat jakun Erwin turun naik, seolah lelaki itu sedang menelan ludah, sebelum mengeluarkan setumpuk berkas dari tas kantornya. Erwin berjalan mendekati Indra, sementara pengacara yang lain masih di posisinya masing-masing, tak ada yang berani bergerak. "Ada sesuatu yang perlu Pak Indra tanda—", kata Erwin seraya menyodorkan berkas di tangannya.

Indra merenggut berkas dari tangan Erwin lalu membantingnya ke arah meja pendek. Berkas itu mengenai vas kaca yang berisi bunga segar, membuatnya terguling dan pecah berantakan saat jatuh ke lantai.

"Saya akan membacanya dulu sebelum saya tanda tangani. Atau kamu mau memaksa saya langsung menandatanganinya, seperti yang kamu lakukan pada Dokter Yunus?" bentak Indra.

Erwin terlihat memucat. "Saya tidak pernah memaksa—"

"Kalau begitu bagus. Sebaiknya kamu Erwin, dan kamu Gina, Yuni, Hendro, Michael, dan Ridho, kalian keluar sekarang juga. Tunggu di depan. Saya perlu waktu untuk membaca surat yang harus saya tanda tangani, dan saya perlu bicara dengan istri saya. Akan saya panggil kalau sudah selesai."

Tanpa disuruh dua kali, keenam orang itu mengemasi bawang mereka dan terburu-buru keluar kamar. Tak ada yang berani menatap Indra, yang kini sedang berkacak pinggang, tatapannya berapi-api terfokus pada Emma.

Dengan mengumpulkan segenap keberanian, Emma balas menatap Indra.

***

Emma duduk bersandar di ranjangnya, sementara Indra yang berdiri di kaki ranjang membaca lembar demi lembar surat perjanjian DNR. Lima belas menit sudah berlalu sejak Erwin dan rekan-rekannya keluar dari kamar, dan selama itu Indra hanya membaca. Dia tak menatap Emma, tak mengatakan apa-apa.

Ketika akhirnya Indra selesai membaca, Indra menutup berkas perjanjian di tangannya lebih keras dari yang diperlukan.

Emma mengepalkan tangan, bersiap menerima kemarahan Indra.

Namun ketika Indra menatapnya, Emma tak melihat kemarahan di wajah lelaki itu. Indra terlihat amat sedih. Dukanya tergurat dalam, hingga tenggorokan Emma terasa terasa tercekat melihatnya. Emma turut merasakan perasaan nyeri di dadanya.

Rasanya, Emma ingin mengulurkan tangan ke arah Indra, menawarkan penghiburan dan pelukan. Rasanya, Emma ingin meminta maaf karena membuat Indra terluka seperti ini.

"Kenapa?" tanya Indra pelan, suaranya terdengar emosional. "Kupikir kamu bahagia bersamaku," bisiknya parau.

Emma yang sedang menunduk, seketika mengangkat kepala. Dia terkesiap, tak menduga Indra akan berkata begitu.

Emma tak punya waktu untuk memikirkan kebohongan, maka dia menjawab dengan sejujurnya. "Tapi aku memang bahagia bersamamu."

"Lalu apa ini?" tanya Indra, sembari mengacungkan berkas di tangannya. "Dokter Yunus bilang, harapan hidup kamu akan lebih tinggi tanpa perjanjian DNR ini. Melakukan operasi Caesar dalam keadaan seperti ini dan melarang dokter untuk melakukan intubasi atau CPR saat diperlukan.... sama saja cari mati."

Segala Masa Lalu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang