23

19.5K 2.6K 111
                                        

Omaygad so sorry, life's been crazy! Believe it or not, I even forgot how to navigate around wattpad. Where's message tab? How this things work? Hahaha, yes it's been thaaaat loooooong.... Thanks for all the message, you guys are so sweeet. Smoooches! Now let's get this story done, shall we? xD

*

"Menurutmu apa yang sedang mereka bicarakan?"

Emma menyesap jus jeruk dari gelas tinggi yang ada di tangannya, menatap ke lelaki yang ada di sampingnya, yang sebelumnya mengenalkan diri sebagai Erwin.

Sejak Indra dan seorang wanita bernama Paula pergi menuju balkon beberapa belas menit yang lalu, pria di sampingnya ini terus menerus gelisah, seolah celana dalamnya berisi selusin ulat bulu.

"Kalau kamu mau tahu, kamu bisa menyusul mereka dan bertanya langsung."

Erwin menatap Emma dengan heran. "Kamu tak ingin tahu?"

Emma kembali menyesap jus jeruknya pelan. Memikirkan pertanyaan Erwin.

Emma ingin menyiramkan jus jeruk di tangannya ke wajah Indra, lalu menggunakan gelas kosongnya untuk mementung kepala pria itu.

Berani-beraninya Indra meninggalkan dia sendirian di pesta yang Emma tentang habis-habisan. Berani-beraninya Indra meninggalkan Emma tengah-tengah ratusan orang asing yang tak pernah dia temui sebelum malam ini, orang-orang asing yang sesekali mencuri pandang ke arah perutnya.

"Tidak, aku tak ingin tahu."

Erwin buka mulut, kelihatannya ingin mengatakan sesuatu, namun kemudian mulutnya kembali terkatup. Dan sejenak, mata lelaki itu, mendarat sepersekian detik di perut Emma, sebelum akhirnya menatap kembali wajah Emma.

Emma sempat melihat gerakan itu.

"Aku tak ingin tahu," ulang Emma. "Dan ya, aku tahu mereka bekas kekasih. Kamu tak perlu mengasihani aku, hanya karena aku hamil, bukan berarti aku bodoh, atau tak bisa membela diri."

Wajah Erwin terlihat shock. "Tapi aku tak bilang apa-apa!" protesnya.

"Tapi itu yang kamu pikirkan kan?" tanya Emma tajam.

Setelah berkata seperti itu, Emma menghela napas, berusaha meredam emosinya. Seharusnya dia tidak merepet ngomel-ngomel pada Erwin, lelaki itu tidak bersalah. Satu-satunya kesalahan Erwin hanyalah berdiri di sebelahnya.

"Sori," kata Emma pelan.

Erwin mengambil segelas air putih dari penyaji berbaju hitam dan menggunakan sarung tangan putih yang lewat di hadapan mereka. Erwin mengambil segelas air mineral, meneguknya hingga tinggal setengah, lalu melonggarkan dasi dengan gugup.

Setelah berdeham beberapa kali, Erwin menjawab, "Tak masalah." Lelaki itu menghabiskan air di gelasnya, lalu meletakkan gelas kosongnya ke baki penyaji lain yang lewat di hadapan mereka. "Aku hanya kaget, ternyata kamu galak sekali."

Emma meringis. "Karena itu aku minta maaf."

"Kamu pernah melihat Indra bersidang?"

Emma menggeleng. "Aku belum mengenalnya selama itu."

"Kamu harus melakukannya sesekali. Dia bagaikan gunung es, menyerang tanpa ampun, dan dingin tanpa ekspresi saat diserang balik. Aku yakin kemampuannya itu sangat berguna saat menghadapimu."

"Apa maksudnya itu?" kata Emma, meski tahu persis apa maksud Erwin. Bahwa saking galak dan keras kepalanya, dibutuhkan satu pengacara bergaji delapan digit per tahun untuk menghadapi Emma.

"Emma?"

Baik Erwin maupun Emma sama-sama menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari belakang Emma.

Tak butuh waktu lama bagi Emma untuk mengenali lelaki itu. Wajah Emma seketika bersinar dan senyumnya mengembang.

Emma mengulurkan tangan. "Kak Nico, apa kabar?"

David mengabaikan uluran tangan Emma, memilih untuk merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya, dan mendekapnya erat-erat.

Segala Masa Lalu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang