Duka

83 9 0
                                    

Sepertinya hukum kuantitas penderitaan memang benar adanya. Baru sebentar Kanaya merasakan kebahagian yang berlebih ia sudah dihadapkan pada kesedihan yang amat sangat berat.

Bahkan Kanaya belum sempat mengucapkan selamat tinggal. Bahkan ia tidak tau ternyata Kakeknya selama ini dirawat di rumah sakit. 

Setelah mendengar kabar bahwa Kakeknya telah meninggal, Kanaya langsung kalut seketika.

"Nay lo mau kemana?"

Kanaya tidak menjawab perkataan Karin dan teman-temannya yang lain. Yang ia pedulikan ia harus segera pulang apapun yang terjadi. Dia tidak ingin melewatkan pemakaman Kakeknya. Padahal dirinya juga masih lemah karena baru keluar dari rumah sakit.

Sekujur tubuh Kanaya gemetaran bahkan ponselnya berulang kali jatuh. Ia tidak tau harus berbuat apa, dia bingung. Ditambah lagi, semua tiket kereta online untuk jam ini tidak tersedia. Kanaya menangis sejadi-jadinya hari itu. Bahkan dia tidak peduli dengan tatapan aneh orang-orang terhadapnya. Ia hanya ingin pulang menemui kakeknya dan memeluknya untuk terakhir kali.

Dia amat sangat frustasi hari itu karena ternyata panggilan tidak terjawab dari kakaknya semalaman itu untuk mengabarkan keadaan kakeknya. Ia benar-benar membenci kebodohan dirinya sendiri.

Sesampainya di stasiun, Kanaya pun terduduk lemas di bangku dekat loket penjualan tiket sembari menunggu akan adanya keajaiban terdapat pembatalan tiket dari seseorang. Bahkan Kanaya beberapa kali juga memohon kepada orang-orang yang tengah menunggu kereta supaya mau menjual tiketnya.

"Rin Kanaya dimana."

"Gak tau Van dia tiba-tiba pergi gitu aja. Mukanya juga sedih banget Van, gue baru liat Kanaya sebingung itu. Mana dia gak ngangkat telpon gue dari tadi chat kita juga gak dibales."

"Lo udah ngecek ke kamarnya dia."

"Udah kata penjaganya Kanaya gak kesitu."

"Plis angkat Nay jangan bikin gue takut." Ucap Revan sembari terus mencoba menghubungi Kanaya.

"Gimana Rin ada jawaban dari Kanaya."

Karin pun hanya menggelengkan kepalanya.

"Angkat Nay jangan bikin gue panik lo kenapa." Ujar Revan cemas.

Setelah berulang kali Revan mencoba menelpon Kanaya akhirnya Kanaya pun mengangkat panggilan masuk dari Revan. Dia tidak bicara apapun tapi Revan sudah bisa menebak dengan jelas Kanaya sedang berada dalam masalah.

Revan hanya mendengar terdapat banyak lalu lalang orang dan suara kereta. Revan berasumsi Kanaya pasti tengah berada di stasiun.

Revan pun menyusul Kanaya ke stasiun dengan terburu-buru.

Sesampainya Revan disana. Ia melihat Kanaya yang masih terduduk lemas frustasi sembari terus menangis.

"Lo kenapa Nay." Tanya Revan lalu berdiri di hadapan Kanaya.

Kanaya pun masih saja menangis bersandar ke Revan.

"Lo kenapa jelasin ke gue biar gue bisa bantu."

Kanaya pun tidak sanggup menjawab pertanyaan Revan dan hanya menundukkan kepalanya sembari berbicara tidak jelas menyalahkan dirinya sendiri.

"Gue jahat ya van..padahal dari kemaren abang gue nelpon cuma mau ngabarin buat gue pulang tapi gue diemin aja."

"Gue jahat banget ya."

"Kenapa sih gue keras kepala banget bahkan gue gak tau kakek gue sakit."

"Gue bego banget ya Van, gue...."

Revan pun memeluk Kanaya menenangkan.

"Lo gak dapet tiketnya?"

Kanaya pun hanya menggeleng.

Revan pun membawa Kanaya pergi dari stasiun dan mereka pergi bersama ke kampung halaman Kanaya.

Di sepanjang perjalanan Kanaya hanya menangis tatapannya kosong. Dia masih tidak bisa mencerna masalah yang harus ia hadapi. Dirinya benar-benar dilputi rasa penyesalan yang amat besar.

"Kamu makan dulu ya Nay. Muka kamu pucet banget."

Kanaya pun menolak dan masih saja terdiam.

Sesampainya di rumah, Kanaya tidak dapat melihat jasad kakeknya untuk yang terakhir karena acaranya sudah berlangsung dari pagi dan memang sudah lama jika harus menunggu Kanaya.

Kanaya langsung pergi ke tempat pemakaman dan menangis sejadi-jadinya.

"Kek maaf."

"Maafin Kanaya."

"Di nafas terakhirnya kakek tetep nyebutin kamu Nay. Gak ada hari tanpa Kakek gak manggil-manggil nama kamu."

Kanaya pun semakin terisak menahan tangis. Ia begitu frustasi hingga memukuli dirinya sendiri.

"Kakek dirawat dari 3 bulan yang lalu dia gak mau lo tau makanya gue gak bilang. Gue juga salah cuma nyuruh lo pulang tanpa jelasin apa-apa. Maafin gue." Ujar Kenan.

Seusai dari pemakaman, Kanaya mengurung dirinya di kamar. Seharian Kanaya tidak mau membukakan pintu kamarnya untuk orang lain.

"Kamu Revan ya?" Ujar Ibu Kanaya mengenali Revan yang pernah membantu Kenan.

"Iya bu." Jawab Revan sembari terus melihat ke arah kamar Kanaya yang masih terkunci rapat.

"Itu gapapa bu dibiarin gitu aja. Kanaya belom makan apa-apa sejak kemaren Bu."

"Dia gak bakal mau keluar kecuali keinginannya sendiri nak Revan. Biarin dia nenangin diri dulu ya dia masih shock banget pasti Kanaya deket banget sama kakeknya soalnya."

"Saya juga yang salah gak cerita apa-apa ke dia. Dia gak mau pulang karena gak pengen ketemu saya."

"Saya emang cuma bisa nyusahin Kanaya. Dia yang nanggung beban keluarga ini sendiri. Saya gak pernah ngasih kasih sayang yang harusnya dia dapet. Saya cuma bikin dia tambah menderita. Saya selalu nganggep dia kuat. Tapi saya salah hatinya rapuh. Saya terlalu fokus bahagiain anak saya yang satu tanpa mikirin perasaan anak saya yang lain."

***

"Kamu masih gak mau ngomong sama Ibu kamu. Dia nunggu di luar dari tadi lho Nay."

"Lo gak ngerti gak usah sok tau soal hidup gue."

"Gue tau lo sakit hati Nay, ibu lo juga sama apalagi dia juga anaknya. Pasti dia ngerasain hal yang sama kaya lo Nay bahkan lebih."

"Dia juga cerita kok dia nyesel, udah bertindak egois selama ini. Gue yakin dia juga pasti gak bermaksud Nay."

"Gue cuma gak pengen lo nyesel untuk kedua kalinya."

"Gue capek Van, gue pengen sendiri."

Damn My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang