Anara Arabella

701 74 12
                                    

Di sebuah kamar yang terlihat berantakan, seseorang dengan air mata mengalir, sedang menutup kedua telinganya. Pagi-pagi sekali suara riuh ibu-ibu yang membeli sayur terdengar jelas di telinga Anara. Bukan suara obrolan biasa yang Anara dengar, melainkan sebuah gosip keluarga yang ia ciptakan.

Anara terlihat menumpahkan rasa kesedihannya. Penyesalan yang ada di pikirannya saat dirinya tengah dilecehkan oleh seorang pria yang tidak ia kenali. Dia merasa bahwa dia tidak berhak ada di dunia lagi. Dia gagal menjadi anak yang baik, anak yang membanggakan kedua orang tuanya, dia telah merusak nama baik keluarga.

Kini yang bisa ia lakukan hanya menangis di sisi kamar. Melipat kedua tangannya dan menekuk lutut. Dia benar-benar merasa hancur. Ingin sekali Anara menutup mata dan telinganya agar ia tidak mendengar suara itu, suara yang sangat menyakitkan hatinya.

Anara ketakutan, dia tidak ingin membuka mata lagi. Rasanya hari-hari akan terlihat sama, menyakitkan. Anara tidak siap untuk semuanya. Untuk cacian yang ia denger di pagi hari, untuk pukulan yang ayahnya berikan.

Anara terkekeh. Disini Anara hanya korban, mengapa harus dia yang disalahkan. Mereka bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak tahu rasanya memiliki luka yang tidak akan pernah sembuh. Anara juga butuh seseorang yang mendukungnya, menguatkan dan memeluk tubuhnya.

"ANARA BUKA PINTUNYA. ANAK SIALAN SINI KAMU, JANGAN BERANI BERSEMBUNYI DIDALAM KAMAR. CEPAT KELUAR ANARA!!!"

Anara kembali menutup kedua telinganya rapat-rapat. Gedoran pintu, teriakan, hinaan semua itu terus terucap dari mulut sang ayah. Rasanya sesak, ayah yang dulu selalu memuji Anara kini tengah meneriakkan berbagai cacian untuknya.

Anara mulai memberanikan diri untuk membuka matanya. Gelap, tidak ada cahaya dari dalam kamarnya.

Anara berjalan mendekati pintu, berharap ada seseorang yang masih peduli terhadapnya. Ia kembali menangis, ribuan air mata telah Nara keluarkan hari ini.

Tok... Tok

Anara bisa mendengar sebuah ketukan pintu kamarnya.

"Anara, sebentar lagi ayahmu akan dipanggil polisi. Bersiaplah untuk menemaninya, di sana kamu bisa menyuarakan keadilan yang ingin kamu katakan," ucap ibunya Anara dengan suara serak. Suara serak, tangisan dan air mata, semua itu Anara penyebabnya.

Anara ingin sekali membuka pintu dan memeluk tubuh rapuh ibunya. Namun Anara tidak sanggup melihat ibunya yang menangis.

Kehidupan yang semula berjalan sesuai harapan, kini Anara telah mengubahnya. Semula semuanya baik-baik saja, namun tiba-tiba saja mimpi buruk seolah menjadi kenyataan.

Anara tidak tahu harus bagaimana sekarang. Kejadian ini tidak pernah ia inginkan. Bahkan, dia tidak pernah membayangkan ada di posisi saat ini. Hidup Anara telah hancur. Kebahagiaannya telah terkubur rapat-rapat.

"Anara cepat buka pintunya, kamu harus mempertanggung jawabkan semua perbuatan kamu. Dasar anak tidak tau diri. Bisanya cuma membawa aib keluarga," ucapan itu keluar dari mulut bibinya Anara.

Anara kembali terduduk lemas di kamarnya. Kamar yang menjadi saksi atas hancurnya hati. Kamar yang menemani kesedihan dan hari-hari gelapnya.

Perlahan Anara mulai membuka pintu kamar. Dilihatnya semua orang yang sudah lama menunggu di depan kamar, menunggu Anara keluar dari kamarnya.

Plak...

Tamparan keras diberikan bibi Anya kepada Anara. "Seharusnya kamu tidak dilahirkan jika untuk membawa aib keluarga," ucapnya sambil memukul tubuh Anara.

Anara mendongakkan kepala, ia melihat seorang ibu yang menangis melihat Anara. Ia mendekat dan berujud dihadapan Tia ibunya. Tamparan dari bibi Anya tidak berarti lagi, setelah melihat ibu yang sedang menangis karena perburuan Anara.

ANYELIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang