Misteri Kamar 111

586 65 6
                                    

Zia mengulas senyum kala kedua matanya menyapu halaman rumah sakit. Aktifitas pagi mereka sangat luar biasa. Menanam pohon pada pagi hari ini telah dilakukan para pasien. Ia fokuskan matanya untuk melihat dokter cantik yang sedang berinteraksi dengan pasien.

Zia mengagumi dokter itu. Kayla dokter muda yang sedang berhadapan dengan pasien. Zia mendekatinya, mengamati setiap ucapan dan interaksi yang dokter lakukan.

"Mereka aneh, kenapa menanam pohon seperti orang gila," ucapan yang membuat dokter Kayla dan Zia mengalihkan perhatiannya.

Lorong ruangan cempaka sepi, tidak ada pasien dan para petugas medis yang berkeliling disana. Lalu suara itu berasal dari mana? Suara yang seakan dirinya tidak gila, beropini dan mengeluarkan isi hati.

"Dokter tidak apa-apa?" tanya salah seorang perawat.

"Barusan saya mendengar suara. Berasal dari mana suara itu?"

"Suara itu berasal dari kamar 111 dok."

"Mengapa kamu tidak mengajaknya untuk menanam pohon bersama?"

"Gala pasien agresif, dok. Pihak rumah sakit sementara waktu mengurang gala."

Untuk apa seorang pasien dikurung? Pertanyaan itu belum sempat Zia tanyakan kepada suster Mia. Karena bel sudah berkumandang. Waktu makan siang. Semua petugas medis, segera kembali pada pekerjaannya, termasuk Zia. Satu persatu pasien berlarian, tertawa, berteriak nyaring.

Zia mengikuti salah seorang perawat, menggandeng beberapa orang untuk masuk ke dalam kamar dan makan. Suara kaki berlarian, serta tawa memecah gendang telinga. Samar-samar suara lafadz Allah mulai terdengar, seorang pria paruh baya sedang mengucapkan beberapa asma Allah. Terdengar berulangkali.

Zia melewati lorong yang sunyi tak berpenghuni. Suara cambuk, teriakan, bunyi rantai, serta tangis terdengar sepanjang lorong. Suara itu berpadu dengan tawa dan ocehan pasien dari ruangan Delima.

Zia melihat seorang yang dirantai. Terkurung dalam ruangan sempit. Kala Salah satu pasien yang ia gandeng berlompatan. Zia, tak sengaja melihatnya.

Mata melotot tajam, suara tawa samar-samar terdengar menggema dari dalam kamar. Bulu kuduk seketika berdiri. Zia segera menarik tangan pasien agar menjauh.

"Istriku sangat cantik, suster," ucapnya sambil menunjuk ke arah kamar.

"Aku mau, aku mau. Satu rumah dengan istri ku."

Zia mengernyit, sambil tersenyum. Pria berusia 27 tahun yang ia gandeng, merengek minta disatukan dalam kamar 118. Kamar yang dilewati, berisi perempuan cantik. "Hans, hari ini kita makan dulu. Lain kali nanti kesini lagi. Bagaimana?"

Hans tak menggubris. Jelas, ia tak waras. Pria itu bahkan tidak akan pernah menerima ucapan Zia untuk masuk kedalam telinga. Hans masih menarik-narik tangan zia agar membawanya kembali ke kamar yang tadi.

"Hans, istrimu sudah sejak tadi menunggu. Dia menginginkan suami yang gagah."

Hans menganggukkan kepala, berulang kali. Ia melepaskan genggaman tangan dan berjalan tegap layaknya seorang pasukan bersenjata.

"SATU  DUA, SATU DUA!"

Ruang rehabilitasi kosong. Seluruh pintu terbuka. Zia melihat temannya, mengatur barisan para pasien rehabilitasi. Zia, tak sadar bila sejak awal dirinya tengah ditatap oleh seseorang.

Reyhan Ragarzza

Pasien pertama yang sulit berbicara. Kini sedang menatap lama wajah Zia. Senyuman manis, mata sayup, tubuh tegap, bibir tipis, semua itu dimiliki Reyhan. Sempurna.

Samar-samar, suara teriakan mulai terdengar menjauh. Zia menoleh, mengejar Hans yang berlarian ke sana kemari.

"Dorr. Aku akan menembak kalian. Dorr, mati!"

Lari, Zia masih mengejar Hans. Memutari lorong demi lorong. Tawa nyaring menenggelamkan suara Hans. Zia kehilangan jejak Hans. Iya berhenti sambil memutar pandangan. Mencari Hans.

"Zia, kamu sedang apa disini?" tanya salah seorang perawat.

Zia terkejut, sekaligus takut. Bagiamana jika Perawat ini tau, Hans kabur darinya. Berbohong akan menyelamatkan Zia. Namun, Hans, bagaimana dengan dia?

"Zia minta maaf Pak. Zia tau, Zia salah. Aku telah lalai menjaga pasien," ucap Zia sambil tertunduk takut. Tidak berani mengangkat kepala.

"Apa yang sedang kamu katakan Zia?"

"Hans," cicit Zia.

Perawat itu mengernyit heran. Semua ucapan Zia sangat tidak masuk akal. Ia tak mengerti ucapannya.

"Ada apa dengan Hans, Zia?"

Diam. Zia tidak menjawab ucapan perawat. Menunduk, Zia memainkan kakinya. Meremas baju, mengurangi ketakutan.

"Berbicaralah. Tatap lawan bicara mu, Zia."

Zia mendongakkan kepala. Tangannya berkeringat dingin. "Maafkan Zia, Hans kabur pak."

"Baiklah, terima ini. Antar ke kamar 111. Biarkan saya yang mengejar Hans," ucap salah seorang perawat sambil menyerahkan nampan berisi makanan ke tangan zia.

"Hans berlari ke arah sana, pak."

Sang perawat, berlari mencari Hans. Zia terduduk lesu. "Ini beneran, aku nggak terkena hukuman?"

Zia tertawa. Otaknya sejak tadi sudah overtaking. Ia, membayangkan terkurung dalam ruangan yang sempit. Mendapatkan nilai PKL dibawah KKM, diusir dari Anyelir, dan dimarahin ketua panitia PKL. Semua kejadian itu sudah sejak tadi hilang timbul. Kejadian yang tak akan pernah terjadi.

Zia terus tertawa sambil memikirkan betapa bodoh dirinya. Dengan sangat tiba-tiba sebuah tangan menyentuh jidatnya. Sontak Zia berhenti tertawa, ekspresi wajahnya berubah seketika.

"Lo, gila. Tertawa sendirian, mau menjadi calon pasien baru. Kalau gak kuat mental, tak usah sok-sokan minta PKL disini."

Zia berusaha sabar. Mengelus dada berulang kali. "Al suka sama Zia, ya?"

"Najis."

"Tak usah marah seperti itu. Nanti jika Al jadi pasien baru gimana? Kan Zia yang repot."

"Jadi sekarang, lo do'ain gue gila?" tanya Al, dengan wajah marah.

Zia tersenyum. 'Salah lagi, salah lagi. Kapan sih aku bener dimata kamu Al. Kayaknya ucapan dan tindakan aku selalu salah. Apa aku sebodoh dan tak seberguna itu.'

"Kenapa diam, bener?"

"Al yang mulai duluan," cicit Zia.

"Tertawa sendirian itu bukan gila? Sinting kali ya. Cape, ngomong sama cewek sok suci kaya lo," ucap Al berlalu pergi meninggalkan Zia.

Zia terdiam. Lagi-lagi Zia tak bisa berkutik dihadapan Al. Cowok yang paling ditakuti disekolah. Al bahkan jarang kumpul sesama tim PKL.

"Kalau Al suka sama Zia, bilang aja. Nggak usah marah-marah kaya gini!" Bibir mungil zia tak sengaja mengucapkannya.

"Ck, amit-amit!" Ucapnya yang sudah mulai menjauh.

"Amit-amit nya Al, bisa jadi amin-amin," Zia langsung membekap mulut. Merutuki dirinya. Kenapa mulut nya bisa kelepasan seperti ini.

Zia membalikkan badan, berusaha melupakan kejadian barusan. Dan memulai kembali tugasnya.

🥀🥀🥀🥀🥀

Spoiler

"Berapa banyak, yang kau sembunyikan. Berikan semua obat, pada saya!"

"Tidak."

"Cepat tunjukkan semuanya!"

"Mawar Gila. Aku tidak akan mau memberikan obat lagi padamu."

"GALA POMEO. CEPAT, BERIKAN SEMUA NARKOTIKA PADA SAYA, ATAU KAMU AKAN SAYA CAMBUK!"

"Aku tidak mau memberikannya. Orang gila seperti kamu, tidak boleh meminumnya."

"Obat ini khusus untuk ku, orang waras. Tidak seperti dirimu, gila."

ANYELIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang