Ceritamu Sudah Selesai?

45 2 2
                                    

Aku duduk dengan wajah yang sedikit terkejut. Pasalnya aku tak mendaftarkan diri untuk ke psikologi, lalu mengapa namaku di panggil seorang perawat. Perawat yang aku temui di sebuah kamar mandi, ia menatapku hangat dengan senyuman yang gadis itu paksaan. Kepala ku melihat sahabat ku yang tersenyum dengan anggukan kepala. Dengan langkah takut, aku memasuki ruangan dengan tulisan 'psikiater.'

Ruangan dingin menusuk kulit, aku merasakan hal yang aneh. Suasana ini mirip dengan kala itu.

Malam yang begitu indah di sebuah kota. Lampu kelap kelip menghiasai pepohonan. Banyak batu-batu keraton serta suara keramaian. Pemuda-pemudi berlalu lalang menikmati indahnya malam. Langit yang di hiasi bintang-bintang. Nama alun-alun kota Cirebon terpampang jelas. Aku duduk di sebuah kursi depan masjid bersama kamu. Aku ayunkan kedua kaki ku agar canggung ini segera berlalu. Kepalaku terus menunduk melihat kedua kaki yang aku ayunkan untuk menghilangkan rasa malu. Kamu yang selalu memandangi ku dengan tatapan hangat mu.

"Bagaimana? Kamu mau ngga jadi pacarku?"

Kalimat itu kembali terdengar di telinga. Aku ragu untuk menjawabnya, hari ini adalah pertemuan pertama kita. Mulutku terkunci rapat, aku tak bisa berkata-kata. Yang aku lakukan hanya diam sambil menikmati angin yang berhembus kencang.

"Dingin ya, mau pakai jaket ku?"

"Ngga usah, kamu pakai aja ya. Kamu kan lagi sakit, nanti kalau tambah sakit gimana!"

Aku menolaknya, padahal di lubuk hatiku yang paling dalam. Aku sangat ingin untuk memakai jaket mu, hanya untuk mencium aroma parfum yang kau gunakan atau untuk merasakan hangatnya pelukan mu.

"Kamu cantik."

Kalimat yang sukses membuat hatiku berbunga-bunga, ribuan kupu-kupu terbang dari perut ku. Senyum malu terbit di bibir, buru-buru aku menangkup wajah dengan kedua tangan, untuk menyembunyikan rasa malu ku.

"Hey, kamu cantik."

"Kakak udah ihhhh, aku malu."

Malam itu kita habiskan di sebuah kota Cirebon, mengelilingi alun-alun kota. Melihat banyak nya pemuda yang berkencan. Malam Minggu yang biasa teman-teman ku rasakan telah aku rasakan.

Kisah kita aku rakit di kota ini. Kapal yang baru saja akan berlayar di lautan lepas.

Bersamamu aku bisa tersenyum malu. Karena mu segala hal yang terasa sulit menjadi mudah.  Hari yang nanti nya akan suram berubah indah hanya karena kehadiran mu.

Peri kecil ayah, sekarang sudah besar! Aku sudah terbang layaknya kupu-kupu. Aku bisa menikmati malam, menonton bioskop, berkeliling Cirebon dan merasakan apa itu cinta!

Ayah tangan mungil ku, di genggam pria lain selain dirimu. Jika kau tau aku bisa bahagia dan melanggar janjiku, apakah kau akan memarahi ku?

Bersamamu aku bisa membuat wist list seperti teman-teman ku. Merasakan kasih sayang yang tulus. Membayangkan hal-hal yang menyenangkan, dan aku akan menikmati semua hal yang orang lain dulu lakukan.

Namun, semua bayangan itu memudar. Aku kembali meneteskan air mata. Suasana dingin, ruangan yang serba putih dan tubuh yang masih berdiri tegak.

Aku mendekati psikolog. Dokter menyuruhku untuk duduk, aku di pasang sebuah alat. Ya, aku di rekam otak dengan diagnosa stres berat.

Aku duduk di hadapan psikolog, tak ada satu katapun yang keluar dari mulut. Hanya air mata yang terus menetes.

"Pacar kamu selingkuh! Kamu takut nilai IPK mu menurun! Takut mengecewakan orang-orang! Takut mimpi orang tua mu hancur! Ibu mu yang selalu menangis karena keuangan. Ayah mu yang memarahi ibu mu. Uang beasiswa mu tinggal sedikit. Kamu yang kesulitan mengerjakan tugas."

ANYELIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang