Kamu Dan Bandung

52 5 1
                                    

Angin sejuk membawa helaian rambut terbang bebas. Gadis cantik dengan tinggi 150 menyeret koper disertai senyum manisnya. Ia berjalan melewati keramaian stasiun. Matanya tak sengaja menangkap segerombolan geng motor yang terkapar di pinggir jalan, dekat stasiun. Kakinya terus melangkah mendekat, bercak darah memenuhi jalanan. Ia buka koper, mengambil beberapa alat p3k. Kembali berjalan mendekat dan....

"Habis tawuran ya? Sesuai, suasana nya sama persis seperti di sebuah series Antares," ucapnya sambil berjongkok mengobati salah seorang pria yang terluka di bagian tangan kanannya.

"Lo siapa?"

Pertanyaan tak digubris oleh sang gadis. Tangan nya sibuk membalut luka gores. Satu persatu sudah ia obati. Sebuah motor berhenti tepat di hadapan salah satu anggota. Gadis cantik dengan rambut terurai, pakaian sangat seksi, membuat semua mata tertuju padanya.

"Lo liat? Dia itu cwenya bos, ya biasalah caper biar nanti malem gaspol," ucap salah seorang pria, dengan banyak luka lebam di bagian wajah, luka gores di bagian siku dan perut.

Gadis itu mendongak menatap lekat wajah sang pria. Familiar! Wajah itu sering ia lihat. Bahkan muka, nama, dan tempat favorit nya saja dia hafal. "Kamu Fauzi?"

"Tau dari mana Lo, nama gue?"

"Tuh kan bener. Kamu pacarnya keisya," teriaknya heboh.

"Kenal sama keisya?"

"Kenal, dia sahabat aku. Emm, kenalin Kezia Graciela, panggil aja Zia," ucapnya sambil mengulurkan tangan hendak berkenalan.

"Gue Fauzi," ia tersenyum sambil menerima jabatan tangan zia.

Beberapa menit sudah ia lewati. Senyuman, ringisan, canda dan tawa kecil selalu terucap dari mulut kedua insan. Daun berguguran memenuhi jalanan. Angin sejuk membawa hawa dingin menusuk sampai ke tulang. Bau anyir menyengat, Sobekan kassa berserakan. Zia menampilkan senyum manisnya.

"Lo tau? Cewek itu, pernah menjadi sosok yang lemah ga sengaja masuk ke dalam kehidupan kami. Sama seperti elo," pandangan Fauzi masih terpaku pada sosok gadis yang sedang mengobati ketua geng motor nya.

"Aku?" Zia menunjuk dirinya sendiri.

"Iya. Sekali ada cewek yang masuk ke dalam ruang lingkup geng motor, dia bakal kita pake secara bergantian," Fauzi kembali menatap sosok dihadapannya. Raut kebingungan tercetak jelas di wajah zia.

"Cewek itu, udah dirusak. Berarti dia bareng bekas. Ko tega sih?"

"Ga ada paksaan buat di masuk ruang lingkup kita. Dia sendiri yang mau. Sama persis seperti lo," ucapnya srkas.

"Aku masih tetap mau menjadi barang mahal yang susah didapat. Aku ga mau di rusak sama manusia-manusia bejat seperti kamu dan teman-temanmu," ucapan penuh emosi membuat Fauzi tertawa mendengarnya.

"Sekali masuk ngga akan pernah bisa keluar. Sepertinya, gue tertarik sama lo."

"Kamu udah pernah seks?"

"Kalau udah tau, ga usah nanya," senyum manis berubah menjadi ketakutan. Perkataan dan tubuh yang terlihat kuat nyatanya hanya topeng. Zia ketakutan, jauh di lubuk hatinya ia sangat menyesal akan keputusan untuk mengobati gangster. "Lo orang Cirebon? Nyasar atau disuruh keisya buat ketemu gue?"

"Percaya diri banget. Ngga dua-duanya."

"Terus ngapain kesini?"

Tin... Tiin... Tin

Suara klakson mobil terdengar. Sebuah mobil BMW berhenti tepat di hadapan Zia. Gadis itu tersenyum, ia berdiri sambil berlari memeluk sang ayah. Zia menengok ke belakang, ia tersenyum sambil melambaikan tangan. Memasuki mobil dengan perasaan lega, terbebas dari hal buruk. Ia bersyukur ayahnya segera datang. Mobil BMW segera melaju pergi dari hadapan anggota geng motor yang terkapar. Hanya obrolan kecil yang terjadi antara orang tua dana anak. Zia mengambil handphone dari dalam tas. Ia berniat memberi kabar dan bercerita tentang apa yang baru saja terjadi kepada sahabatnya.

2 jam telah berlalu, sebuah gapura dengan tulisan "selamat datang di kota Cirebon" membuat senyum gadis mengembang. Ia membuka buku catatan dan mulai menghafal. "Selamat datang kota ku," ucapnya dalam hati.

Ayahnya melirik sekilas ke arah sang anak. Fero, seorang perawat di sebuah rumah sakit besar di kota Bandung. Tubuh yang gagah, pekerjaan yang mapan serta wajah yang tampan membuat banyak orang mengira ia masih berumur 25 tahun, padahal ia sudah menginjak kepala empat. Sifat yang baik, penyayang, membuat Zia menjadi sosok yang manja.

"Perawatan jenazah merupakan transportasi ke kamar jenazah, membersihkan jenazah dan melakukan disposisi (penyerahan barang milik klien)"

Fero mengangguk mendengar anaknya menghafal dengan begitu cepat. Bakat sang anak tentu tidak diragukan lagi, Fero bahkan dulu tidak memiliki daya ingat untuk menghafal secepat Zia.

"Boleh bapak ganggu sebentar?" tanya Fero dengan hati-hati.

Zia mengangguk, ia menutup bukunya dan menatap wajah Fero. "Ada apa pak?"

"Cowo yang ngobrol sama kamu tadi itu siapa?"

"Oh, dia Fauzi pacar virtualnya Keisya," Zia membekap mulutnya. 'Bisa gawat kalau Keisya tau Zia membocorkan rahasia besar gadis itu'

"Dasar mulut sialan! Maksudku, dia sahabat nya Kei dan Zia Pak. Hehehe "

"Ngga usah bohong." Zia memajukan bibirnya. Ia memandang sang ayah dengan malas. Ia membuka buku catatan dan membacanya dengan sangat keras.

"Ngambek mulu anak bapak. Sana turun, ibu udah nungguin di depan pintu."

Zi turun dengan perasaan senang. Wanita paruh baya sedang menunggu kehadiran dirinya di depan pintu. Gadis itu berlari memeluk sang ibu. Rindu sudah terbalas. Ia sang menyayangi ibunya lebih dari apapun.

"Ibu sudah masak makanan kesukaan kamu," sambut ibu dengan senang hati.

"Alhamdulilah, akhirnya makan masakan ibu juga. Zia kangen banget sama masakan ibu," jelas Zia dengan bibir di manyunkan.

Ketiganya melangkah memasuki rumah bernuansa serba putih. Lukisan bertema alam menyambut kedatangan, ditemani beberapa foto keluarga, juga hiasan rumah. Kehangatan keluarga sangat ia rindukan, kedua orang tua yang menyayangi, kamar yang sangat nyaman. Mereka duduk disebuah meja makan, berbagai makanan dengan menu kesukaan Zia, bahkan kedua orang tuanya rela tidak bekerja hanya karena menyambut anaknya pulang. Zia sangat sangat beruntung.

Dentingan sendok mengisi keheningan. Tidak ada obrolan seperti biasanya. Zia terlihat khawatir, takut jika kedua orang tuanya sedang bertengkar. Ia segera menyudahi makannya.

"Selesai, aku ke kamar dulu ya, Bu pak."

"Buru-buru amat zi. Ibu belum ngomong sesuatu sama kamu."

"Mau ngomong apa Bu?" tanya Zia dengan hati-hati.

"Kamu masih berhubungan sama tahanan yang menyekap Niren?"

Kaget, dari mana orang tuanya tau tentang keseharian Zia disana. Bibir nya kalut, ia tak mampu berbicara. Bahkan untuk memberikan penjelasan saja ia tidak berani.

"Atau kamu masih suka sama laki-laki bejat seperti Alfarizi?" nada suaranya mulai meninggi. Zia merasa takut, baru saja ia bahagia dan merasakan kehangatan keluarga. Akan tetapi sekarang?

"Bu, sudah. Bapak tadi melihat teteh berduaan sama barudak bandung, sepertinya mereka pacaran Bu."

"Penampilannya bagiamana pak?"

"Rapih, masih SMA. Seumuran sama si teteh. Pas ketemu bapak juga dia salim. Sopan anaknya."

"Bagus kalau gitu. Teteh katanya mau ke kamar. Istirahat besok ada ujian eksternal kan," ucap si ibu mengingatkan.

Setiap melangkah menaiki anak tangga. Ia selalu berpikir bagaimana bisa seorang ayah bisa mengarang cerita tentang Fauzi padahal apa yang keluar dari mulut tak seperti kejadian yang terlihat oleh mata. Zia juga penasaran bagaimana ibunya bisa tau tentang Anggara. Apa mungkin guru produktif atau keisya?

Memikirkan itu semua membuat kepala berdenyut pusing. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan buku catatan kecil yang ia peluk. Perlahan matanya mulai terpejam, ia memasuki area mimpi.






🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀





Maaf ya baru update. Next mau update kapan. Oh ya, aku sibuk nyari universitas jadi belum sempet merevisi part ini atau bahkan cerita Anyelir dari awal sampai akhir. Jadi jika ada typo mohon di maklumi ya.
See you next part teman-teman.
Semoga selalu sehat🥰

ANYELIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang