Are you okay, Jenika?

76 7 1
                                    

Jenika diam seribu bahasa kala sebuah pesan masuk dari guru pembimbing pkl-nya. Harusnya berita gembira ini membuat ia bahagia, namun rasa semangat nya seketika hilang. Suara seorang wanita paruh baya masih terekam jelas di memori otaknya. Dengan senyuman yang terpaksa mengembang, Jenika menghadap ke tiga perempuan yang sedang bercerita.

"Maaf menyela cerita kalian. Ada kabar buruk dan kabar baik dari ibu Tari buat kalian berdua," ucap Jenika dengan senyum yang masih ia pertahankan.

"Apaan tuh?" tanya kedua gadis itu.

"Kabar baiknya, ibu Tari sudah memesan tiket kereta untuk kita, beliau memberikan libur pergantian selama 3 hari pada kita. Kabar buruknya, tiketnya hanya untuk satu siswi," ucap Jenika yang kemudian langsung menundukkan kepalanya.

"Kenapa ngga, kamu ambil sendiri kesempatan ini?" tanya Zia.

Jenika kembali tersenyum, "aku ngga mau egois, kesempatan ini aku serahkan ke kalian."

Kedua gadis saling memandang. Mereka tak bisa memutuskan satu sama lain. Keisya yang diam sambil meremas bajunya. Zia yang bimbang, hingga saat Zia melirik ke arah sahabatnya. Keputusan sudah ia dapatkan.

"Zia kasih kesempatan ini buat Keisya. Karena kebetulan besok, Reyhan mau mengajak ku berkeliling Yogyakarta. Jadi, buat kamu aja. Biar kamu bisa pulang, dan bertemu sama kekasih virtual kamu."

Keisya tersenyum haru, mendengarnya. Gadis itu langsung memeluk Zia. Berterimakasih atas kesempatan yang gadis itu berikan kepadanya.

Kedua gadis itu masih tersenyum ceria. Sampai suara dering telepon, mengagetkan ketiga gadis. Alis Fika terangkat kala melihat Jenika pergi menjauh, saat ponselnya berdering.

"Halo ka, aku kangen banget sama Kaka. Kapan pulangnya. Ade mau ulang tahun, kakak ngga mau datang bawa hadiah. Kenapa, lama banget perginya. Ade rindu kakak," ucap suara anak kecil di seberang.

Jenika kembali tersenyum, setetes air mata jatuh tanpa diminta. "Ade, sebentar lagi kakak pulang."

"Kapan. Pulangnya hari apa, besok?"

"Beberapa hari lagi, bukan besok de."

"Yah masih lama dong. Berarti kakak, ngga ada saat aku ulang tahun," suara kekecewaan terdengar dari seberang. Jenika merasa bersalah tak ada di hari penting bagi adiknya. Keduanya sama-sama terdiam hingga suara benda terjatuh terdengar oleh Jenika.

Praangg..., "Ade, kamu ngga kenapa-napa kan?" tanya Jenika dengan rasa khawatir.

"Kamu kemana saja, hari ini baru pulang. Selingkuh?" Jenika mendengar suara ayahnya. Suara yang melengking tinggi, disertai barang yang berjatuhan.

"Ade, kamu denger kakak kan. Pergi kerumah ka Rafly, de" Jenika sangat takut jika adiknya mendengar pertengkaran kedua orang tuanya lagi. Mengapa harus didepan anaknya. Kenapa mereka tidak mempedulikan gadis kecil yang sedang bersembunyi di balik kursi. Apa mereka tidak memiliki hati, sampai anaknya harus rela mendengar pertengkaran ini?

"K-ka, a...ku ta-kut," setelah mendengar suara adiknya, Jenika kembali mendengar suara seseorang berlari menjauh.

"Kalau memang saya, selingkuh. Anda mau menceraikan saya!"

"Bicara apa kamu! Wanita seperti mu hanya memikirkan uang uang dan uang, tidak pernah memikirkan keluarga!"

"Apa kamu bilang? Tidak pernah memikirkan keluarga! Selama ini siapa yang membiayai sekolah Jenika, saya mas. Bukan anda."

"Harusnya kamu bersyukur, bukan malah berselingkuh!"

"Jika anda memiliki uang dan penghasilan yang cukup, saya juga tidak akan seperti ini."

PLAKK..., "Saya menyesal telah menikahi wanita seperti kamu. Jika saja saya tidak melihat kedua anak kita, sudah saya ceraikan kamu!"

Setelah itu suara telpon kembali sunyi. Jenika kembali menangis, terduduk sambil menutup kedua telinganya. Tangisan yang begitu menyakitkan. Kedua orang tuanya kembali bertengkar.

"Suami sialan, bisakah kamu menceraikan saya saja. Dasar bajingan," suara yang tak pernah ia dengar dari seorang ibu. Hari ini ia mendengarnya. Tangan Jenika bergetar hebat, ia paksa mengambil telpon genggam yang tergeletak tak jauh dari tempatnya. Jenika segera mematikan telpon itu, agar tak mendengar kata-kata kasar dari mulut sang ibu.

"Jika seseorang bertanya apa penyesalan dalam hidup. Maka akan ku jawab, aku menyesal telah lahir ke dunia."

Tok... tok... tok....

"Jenika kamu ada di dalam kan"

"Jangan melakukan hal bodoh Jen"

"Kamu baik-baik saja kan," suara dibalik pintu terdengar jelas oleh Jenika.  Jenika membuka pintu dengan wajah yang lusuh, hidung serta mata yang memerah. Hal pertama yang Jenika lihat adalah, raut kepanikan di wajah ketiga gadis dihadapannya. Jenika enggan menjelaskan apa yang terjadi didalam hidupnya. Ia justru berjalan sambil menghiraukan keberadaan ketiga remaja yang mengikutinya dari belakang.

"Are you okay, Jenika?" tanya Fika dengan rasa khawatirnya.

"Mau jawab sedang tidak baik-baik saja, nyatanya semua orang tidak akan peduli, maka akan ku jawab dengan lantang I'M FINE"

"Jika kamu sedang tidak baik-baik saja, maka katakan saja. Jangan membohongi dirimu sendiri, Jen," ucap Zia.

Jenika tak menghiraukan ucapan Zia. Dia kembali keruangan pasien kembali tersenyum dan ceria seperti biasanya. Ia mengajari seorang wanita paruh baya untuk membuat kerajinan. Kerajinan tangan yang sangat indah. Ada berbagai macam kerajinan yang telah pasien kejiwaan buat, seperti gelang karet, gantungan kunci, jepit rambut dan banyak lagi pernak pernik lucu yang mereka buat.

Zia gabung dengan Jenika, mengajarkan cara menjahit pakaian, mengubah kain menjadi sebuah boneka. Fika tersenyum sambil bergegas pergi untuk membantu di ruang rehabilitasi lain. Sedangkan Keisya hanya berdiri sambil mengamati gerak gerik Jenika.

Selanjutnya Keisya masuk kedalam membantu para pasien membuat kerajinan tangan yang indah. Yang akan mereka jual di pameran Anyelir nantinya.

Tak terasa waktu terasa begitu cepat. Sunrise telah tergantikan oleh senja, ketiga gadis itu pulang dengan membawa cerita masing-masing. Sepanjang perjalanan Jenika hanya diam tak ada niat untuk bergabung kedalam celotehan kedua temannya. Hingga sampai didepan kost, seorang pria berdiri membawa sebuah coklat serta bunga di tangannya. Perlahan pria itu mendekat ke arah mereka. Tangan pria itu, ia rentangkan siap menerima pelukan dari gadis dihadapannya. Namun gadis itu hanya diam dengan seribu bahasa. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata, dan sekuat tenaga sang gadis menahan agar air mata tak terjun bebas dari pelupuk matanya.

Ketiga gadis seola tak mempedulikan kehadiran pria itu. Mereka berjalan melewatinya dengan celotehan yang tetap keluar dari mulut Zia. Dengan sekuat tenaga, pria itu menarik tangan Jenika. Jenika terjatuh dalam pelukan si pria.

Jenika mulai menangis, air mata yang sejak tadi ia jaga agar tak turun, kini dengan bebas terjun Dar pelupuk matanya. Pria itu memeluk Jenika dengan sangat erat, berharap kesedihan yang gadisnya rasakan segera hilang.

"Maaf. Aku kembali hanya untukmu."








🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀



Terimakasih sudah membaca cerita Anyelir. Maaf baru sempet nulis dan update. Disela-sela kesibukan ku akan aku luangkan sedikit waktu untuk menulis, agar kisah ini segera selesai.

Bantu aku share cerita ini ke berbagai sosial media yuk.

ANYELIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang