Hari ini tak banyak yang dilakukan Jenika dan keisya. Pasalnya, sejak siang mereka mengabaikan tugasnya, shift yang terasa berat, dan pasien yang mereka serahkan kepada para mahasiswa. Jenika menengok ke kanan dan kiri bersama teriakan pelan dari keisya.
"Berhenti dulu, Jen. Aku cape banget."
"Kok, gitu. Ini Niren belum ketemu loh."
"Harusnya kamu, mencari Niren dari beberapa menit lalu Jenika. Aku, sudah ngabarin kamu dari 23 menit yang lalu. Ngapain aja sih?"
"Gimana mau cari Niren, jika ada anak kecil yang ketakutan di depan, ku. Lagian bukannya kalian berdua berangkat bersama. Kok bisa, Niren hilang."
"Mana saya tau. Aku hanya menjalani tugas dan fokus sama pasien Jenika."
"Apa kita ngabarin yang lain juga?" tanya Jenika.
"Harus sih itu."
Sambil beristirahat, melihat ke sekeliling. Jenika yang fokus pada handphonenya, dan keisya yang duduk diam, mengistirahatkan tubuhnya.
"Kamu bilang ada anak kecil yang ketakutan. Apa, dia ketakutan karena orang yang mau mencelakai Niren."
Jenika diam, mencerna ucapan keisya.
"Ngga mungkin Niren nyasar, kita sudah berminggu-minggu disini. Masa masih belum hafal juga. Kemungkinan besar Niren diculik."
"Siapa yang mau menculik Niren coba. Disini penjagaannya ketat, sya."
"Ada. Pasien kamar 111, dia pasien agresif yang mencelakai Zia. Kamu harus cari tahu, sekarang," ucap keisya dengan tegas.
"Sendirian?"
"Iya. Aku ga bisa nemenin kamu. Karena jatah shift aku sudah selesai, aku juga laper banget. Mau balik ke kost dulu, nanti aku balik lagi sama anak-anak yang pergantian shift."
"Ya udah, hati-hati pulangnya."
Keisya pergi dengan langkah yang sangat pelan. Sambil berjalan pulang, ia juga mencari Niren. Jenika menatap kepergian keisya dengan hembusan napas berat.
Dari kejauhan, tampak seorang wanita cantik berjalan membawa makanan. Jenika mengerutkan keningnya. Buru-buru gadis itu berdiri dengan tegak, senyum manis ia paksakan mengembang dengan sempurna.
"Hai ka Caca," sapa Jenika dengan ceria.
"Hai, kamu ngapain disini Jen. Bukannya, sedang mencari teman kamu."
"Hehehe, ini mau mencari Niren lagi ka. Oh iya, ka Caca mau kemana. Bawa makanan segala, bukannya ini belum waktunya makan malam, ka," jelas Jenika.
"Ini mau diberikan pada pasien kamar 111. Kamar itu adalah kamar sepesial, jadi ini sudah waktunya untuk pasien makan."
"Boleh aku temenin."
"Boleh, tapi hapus dulu tuh air matanya," tunjuk Caca pada wajah Jenika.
Caca membuka pintu kamar. Terlihat sangat rapih, tidak ada barang yang pecah sedikitpun. Seorang laki-laki, berbaring di tempat tidurnya. Ia, terus memandangi kedua perempuan itu.
"Halo, ini makan malamnya sudah siap. Silahkan dihabiskan dulu," ucap Caca sambil tersenyum.
Kosong, begitulah isi kepala Jenika saat ini. Jika kalian pernah melihat manusia silver yang ada di jalan. Maka itulah definisi Jenika saat ini. Diam dengan pandangan kosong.
"Jenika, saya tinggal dulu sebentar. Ada bimbingan dari dosen, sekarang. Akan tetapi, kamu tidak perlu khawatir. Saya akan panggilkan teman saya kesini. Tunggu sebentar ya."
"Iya ka, hati-hati di jalan."
Jenika melihat pria yang hendak duduk. Mengerikan, tepatnya Jenika takut berada di dalam kamar 111. Pasien yang katanya agresif ini. Sungguh, Jenika ingin keluar sekarang juga, jika tidak memikirkan teka teki hilangnya Niren.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANYELIR
Teen FictionTerimakasih sudah membaca cerita Sinta. Tetep dukung karya ku sampai tamat ya🤗 •°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°• "Psikopat" "Pria itu seorang psikopat" Zia terkejut mendengar teriakan anak kecil. Apa maksudnya psikopat, siapa yang psikopat? "Jangan mende...