Trauma

15 2 0
                                    

Tetesan air mata kembali menerobos keluar dari mata cantik ku. Memori yang buruk lagi-lagi hadir pada ingatan ini. Ketikan buruk dari seseorang yang tak aku kenal, menambah rasa gundah. Jika dunia cepat berubah, manusia yang tak memiliki rasa, lantas bagaimana dengan mimpi-mimpi yang aku rakit itu?

Trauma lama seakan kembali terbuka. Ketakutan akan hari-hari yang akan datang kembali hadir pada diriku. Hanya karena sebuah malam yang tak mau aku ingat kejadiannya.

Aku pejamkan mataku sejenak, sambil melipat kedua kaki dan menenggelamkan kepalaku. Tidak ada ketenangan, hanya air mata yang kembali keluar dengan deras. Mataku seolah tak pernah lelah untuk mengeluarkan kesedihan, kepala ini hanya tersisa hal-hal buruk yang menghantuiku.

"Aku benci malam itu"

"Aku benci mereka, yang tak menolong ku"

"Aku benci pria itu"

Aku berdiri dengan sisa tenaga yang kumiliki. Tangan ini bergerak mengambil sebuah pisau yang tergeletak pada rak di sudut kamar kost. Aku mengambilnya, namun suara tangisan ibuku, menghentikan langkahku, untuk melukai tangan mulus ini. Aku melihat sekeliling tidak ada sosok ibu di ruangan, hanya kesunyian, lalu dari mana suara tangisan itu berasal?

Aku kembali terduduk sambil memegang sebuah pisau. Tangisan ini semakin tak terkendali. Sebuah ketukan pintu terdengar dari luar

"Zia, kamu kenapa selalu menangis. Cobalah untuk keluar, agar bisa bercerita padaku," ucap jenika dari luar kamar.

Ingin sekali rasanya aku, membuka pintu dan menceritakan segala rasa sakit yang aku alami. Namun, ketika bibir bergerak seolah ada yang mencekik leher, sehingga aku tak bisa mengeluarkan suara apapun dari mulut ku, kecuali isak tangis yang semakin keras.

Aku kembali merebahkan diri, menekuk lutut sambil sesekali menghapus air mata yang mengalir. Hanya itu yang bisa aku lakukan hingga mata ini tertidur.



🥀🥀🥀🥀🥀🥀


"Kamu siapa, hahahaha," ucap Zia lirih

Pantulan dari cermin, memperlihatkan seorang perempuan yang kacau. Mata sembab, rambut acak-acakan, bibir pucat dan jejak air mata yang masih terlihat.

"Separah itu ya, lukanya sampai diriku jadi seperti ini."

Zia menggeleng sambil menghapus air mata yang tiba-tiba mengalir pada pipi mulusnya. Ia, langkahkan kaki menuju kamar mandi agar wajahnya sedikit lebih membaik. Setalah keluar dari kamar mandi, ia mengenakan seragam, sambil melihat kembali wajahnya dari cermin.

"Masih terlihat sembab ya. Bagaimana cara menghilangkannya?" Tanya Zia pada dirinya sendiri.

Akhirnya dengan putus asa, ia sedikit memijat wajahnya agar sembab itu tak terlihat. Setelah lama bersiap, handphone miliknya berdering, menandakan 30 menit lagi pergantian shift akan berlangsung. Secepatnya Zia meris diri dan keluar dari kamarnya.

Pandangan pertama yang Zia lihat ketika membuka pintu kamar adalah jenika yang sedang terduduk sambil menatapnya. Jenika berdiri sambil mendekati Zia, ia genggam tangan mungil itu lalu berkata, "Zia aku tak tau apa yang sedang kamu rasakan sekarang. Aku juga tak tau mengapa kamu menjadi seperti ini. Maka dari itu, tolong ceritakan lah padaku agar aku bisa membantu mu."

Air mata kembali menetes, Zia menghapusnya dengan lembut. "Kemana kamu pada malam itu, bukankah tak ada saat aku membutuhkan mu."

"Zia, aku minta maaf karena malam itu tidak menjawab telfon mu. Aku sibuk dengan pasien di rumah sakit, Zia. Apa kamu mau aku saja yang menggantikan shift malam mu?"

"Nggak usah, kemarin kamu menggantikan shift ku. Jadi tak apa, hari ini akan melakukannya sendiri."

"Tapi sepertinya, kamu masih membutuhkan waktu istirahat Zia."

Aku membalasnya dengan senyuman. Kaki ini aku langkahkan menunju pagar, terlihat sosok pria tengah melambaikan tangan pada ku.

"Kamu mau ketemu siapa?"

"Mau ketemu Zia," jawabnya sambil mengacak pelan rambut Zia. Meskipun tidak ada kata hai atau sekedar basa-basi lainnya, ia tetap mengagumi perempuan yang ada di hadapannya.

"Aku mau berangkat ke rumah sakit, jadi ga bisa nemenin kamu."

"Gapapa, aku sengaja kesini buat nganterin kamu."

"Ga...," pria itu meletakan telunjuk tangan, tepat dibibir Zia.

"Hust, ga boleh nolak. Aku takut terjadi sesuatu sama kamu, seperti malam itu."

Deg...

Otak ini seakan kembali mengingat momen itu. Siapa sangka, air mata kembali menetes. Dengan segala rasa sakit yang masih terpendam, aku terisak dalam dekapannya.

"Maaf. Udahan ya nangisnya. Nanti mata kamu makin sembab, ga enak dilihat sama perawat senior nanti."

Mendengar perkataan itu, kepala ini sontak mengangguk meskipun masih dalam pelukannya. Ia hapus jejak air mata di pipiku. Bibir ini sangat sulit untuk berucap. Senyuman manis aku paksakan mengembang, sebagai balasan terimakasih atas semua tindakannya pada malam ini.

"Naik, kita berangkat sekarang. Okay!"

Aku hanya diam. Ia mulai menjalankan sepeda motor. Kini motornya berhasil membelah jalan raya. Angin yang berhembus kencang menerbangkan dedaunan. Malam yang hanya dihiasi cahaya rembulan. Suara jangkrik mulai terdengar, dan pikiran ku masih berfantasi pada malam itu.



🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀

Halo teman-teman.

Gimana kabarnya hari ini?

Maaf ya ceritanya jadi aneh alurnya. Maaf aku baru ingat belum up cerita hehehe

Terimakasih ya, buat kmu yang nungguin dan baca cerita ku. See you next part!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ANYELIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang