Keisya berada tepat di persimpangan Ada bimbang di hati. Meski berat, kakinya terus melangkah dengan senyuman yang menghiasi wajah. Tak berselang lama, kehadiran suster Dewi, sosok yang tak ingin ia temui. Membuat debaran jantung berpadu dengan ketukan pantofel memekik gendang telinga.
Dugdug... dugdug... dugdug... bunyi itu seperti suara bedug besar yang ditabuh bertalu-talu. Dugdug... dugdug... dugdug...iramanya terdengar bergemuruh semakin menderu. Irama debar jantung semakin menggeletar. Lalu lirikan mata tak sengaja melihat jarum jam yang melingkar pada tangan kirinya. Matanya melotot tajam, pukul sembilan lebih dua puluh delapan menit. Keisya terlambat satu jam dua puluh delapan menit, keringat bercucuran membasahi kening, disertai debaran jantung yang tak kunjung mereda.
Jantungnya kembali berdegup kencang. Kepalanya menunduk sayu, ia hanya bisa meremas baju dengan pandangan yang hanya melihat ke arah pantofel yang dipakainya. Suara itu terus menggema, dugdug... dugdug... dugdug..., menghantui pikiran dan merayap masuk ke dalam hati yang semakin cemas dan gelisah. Jantungnya berdetak dengan kekuatan yang tak terbayangkan.
Banyak pertanyaan yang mungkin akan keluar dari mulut suster Dewi. Dari mana saja kamu, sampai telat satu jam seperti ini? Atau mungkin, pertanyaan seperti... bocah kenapa bisa telat!? Parahnya sapu dan tangan siap mendarat di tubuh keisya. Sepertinya itu hanya ekspektasi yang tak akan pernah terjadi, karena pada kenyataannya, ucapan yang keluar berbeda dari apa yang dibayangkan.
"Dua jam, sepuluh menit!"
Apa-apaan ini! Dua jam?
Deg... Kepalanya kembali tegak, matanya menatap wajah suster didepan. Lalu dengan sekejap kilat pandangan kembali tertunduk menatap lantai. Keisya tak berani menatap sosok dihadapannya. Bahkan untuk sekedar menyangkal dan memberi alasan saja rasanya tak berguna dihadapan sang suster.
"Sesuai peraturan yang saya bilang kemarin, kamu mendapatkan hukuman dari saya," tegas, mutlak dan mengusik pikiran. Sejenak keisya mengangguk dengan lesu. Matanya melirik sekilas, senyum suster menyeringai sudah seperti psikopat yang akan membunuh mangsanya.
Hukuman! Bukan hanya jantung yang masih berdebar kencang, sekarang seluruh tubuh sudah gemetar. 'Nilai' satu kata itu mampu membuat buliran air mata berhasil membasahi lantai. Hatinya seakan hancur hanya karena satu nama 'fauzi' dan dia adalah kekasih keisya.
"Sebagai hukuman, bukan hanya nilai dan poin kamu yang saya kurangi tetapi khusus hari ini adalah hari spesial kamu...," Suster Dewi sengaja menggantungkan kalimatnya.
Tangan mulai menghapus jejak air mata yang semula menetes. Dengan berat hati, keisya mendongakkan kepala. Menatap wajah garang suster, matanya tak sengaja bertemu dengan bola mata suster Dewi yang menetap nyalang ke arahnya.
"Pertama... jam shift kamu akan saya tambah. Kamu akan pulang tepat pukul sembilan malam, bergabung dengan teman shift siang.
Kedua... mulai hari ini Pricilla adalah tanggung jawab kamu, setiap hari akan saya cek perkembangan anak itu dan jika tidak ada perubahan kamu akan terkena hukuman.
Ketiga... hari ini kamu akan mengantarkan makanan dan obat pada kamar 111.
Keempat... Poin kamu akan saya kurangi, jika kamu bisa membuat perubahan pada Pricilla poin akan saya tambah.
Kelima... nilai kamu akan turun di mata saya, dan ini bersifat mutlak tidak bisa diubah."
Napas keisya seolah tercekik, mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut suster Dewi, membuat bulu kuduk berdiri. Keringat bercucuran, disertai helaan napas yang ia hembuskan beberapa kali.
"Paham!"
Ia anggukkan kepala meski hati menolak keras. Suara pantofel terdengar menjauh, matanya tak melihat suster Dewi didepan. Buru-buru Keisya memasuki ruangan Pricilla sambil membawa obat penenang yang ia ambil dari salah seorang perawat.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANYELIR
Fiksyen Remaja"Psikopat" "Pria itu seorang psikopat" Zia terkejut mendengar teriakan anak kecil. Apa maksudnya psikopat, siapa yang psikopat? "Jangan mendekat, ruangan itu milik psikopat" "Pergi...!" Dia menyuruh Zia pergi dari ruangan ini? Orang yang berada dida...