Observasi Psikiater

391 25 2
                                    

Updatenya tidak lama kan?
Cuma beda beberapa hari.
Aku minta maaf ya, aku pikir bulan ini akan sibuk, ternyata masih bisa menyempatkan diri untuk menulis

Teruntuk kalian yang sedang merasakan sedih, kecewa, dan kehancuran dalam hidup. Semangat! Jika menangis membuat kalian merasa lebih tenang, maka menangislah. Aku berharap kalian selalu sehat, secara fisik dan mental .

Salam sehat

Selamat membaca

🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀

Shanty Calysta Araveena atau yang kerap kali dipanggil Acha adalah seorang pasien observasi psikiater. Ia, didiagnosa mengidap stress pascatrauma. seorang perempuan yang terpaksa putus sekolah, akibat perceraian kedua orang tuanya. Kini, terpaksa harus tinggal di sebuah rumah sakit jiwa, disalah satu ruangan, observasi psikiater.

"Aku bukan orang gila, dokter." Berulang kali dokter menanyakan beberapa hal. Dan yang keluar dari bibirnya, hanya ucapan bukan orang gila.

Ditinggalkan memang sangat berat. Begitu juga dengan Shanty. Belum genap satu Minggu kasus perceraian kedua orang tuanya, kini gadis itu harus rela kehilangan ibunya. Berhari-hari, telah mencoba untuk melupakan berbagai kejadian buruk. Hanya saja suara bahkan bayang-bayang kekejaman selalu menghantuinya.

Semakin lama dibiarkan, semakin tidak ada celah. Dan berakhirlah Shanty disini, dengan pascatraumanya.

"Orang gila, tetap saja orang gila. Tidak mungkin menjadi waras," ucapan sekilas dari anak PKL yang berjalan melewati ruang observasi, memicu amarah shanty.

"Jika aku gila, lalu kamu apa? Bukankah kamu juga gila, berada disini."

Jelas sekali, ucapan yang mengartikan bahwa ia, bukanlah orang gila. Lalu apa yang membuat gadis ini terdorong ke sini. Bagaimana alat dan dokter membuktikan, ia mengidap stress pascatrauma?

"Shanty," panggil salah seorang dokter bersamaan dengan tepukan pada pundaknya.

Diam. Gadis dihadapannya tetap diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Dia melamun, kadang tertawa, namun tidak menjawab sapaan dokter.

"Shanty, boleh saya bertanya?"

Bukan pertama kali ia menanyakan hal ini kepada sang gadis dihadapannya dan bukan pertama kali ia tak mendapatkan jawaban.

Tiba-tiba saja air mata gadis keluar. Ia, mulai menangis tersedu-sedu tanpa alasan. Sekali lagi sang dokter bertanya dan jawabannya masih sama, diam.

"Aku tidak gila. Kalian yang mengaku normal lah yang gila."

Dituduh gila oleh orang-orang sekitarnya, tak tekecuali keluarganya sediri. Shanty tahu betul keadaannya, tidak ada orang yang dapat memahaminya selain ia sendiri, ia bermaksud membuktikan bahwa yang gila itu adalah mereka. Akan tetapi semuanya gagal, ia malah harus terjebak disini.

"Iya, kamu tidak gila. Saya tau."

Tangisan seketika mereda. Lengkungan senyum terlihat dikedua bibirnya. Shanty sangat senang. Berkali-kali gadis ini menganggukan kepala.

"Hahahaha," lagi dan lagi dengan sangat tiba-tiba Shanty tertawa.

Dokter memegangi lengan shanty. "Apakah kamu bisa berjanji kepada saya. Untuk tidak tertawa, menangis, berteriak, marah, hingga menghilangkan kejadian buruk yang kamu lihat, serta menghiraukan suara-suara yang membuatmu terganggu."

Gadis ini kembali diam. Senyumannya pun memudar. Dokter jelas tau perubahan ekspresi dari gadis.

"Kamu harus melakukannya. Supaya semua orang percaya bahwa kamu bukanlah orang gila. Kamu juga bisa lebih cepat pulang."

ANYELIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang